Rabu, 18 November 2009

Meninjau Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Meninjau Sistem Pemungutan Pajak pada Perpajakan Indonesia

Oleh : Mikail Jam'an, Naslul Wirda, Raynold Tambunan & Sunarta Pormando
16 September 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia yang terus berkembang menimbulkan banyak perubahan dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan manusia. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah menggiring manusia ke dalam kehidupan yang serba cepat, serba otomatis, dan diliputi berbagai kemudahan. Kemudahan-kemudahan inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki berbagai cara dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Begitu halnya dalam dunia perpajakan. Perkembangan yang pesat dari kemampuan teknologi yang telah diciptakan manusia membawa tidak hanya kemudahan, melainkan juga challenge (tantangan) dan threat (ancaman) bagi setiap lini kehidupan manusia.
Dalam dunia perpajakan, perkembangan yang terjadi meliputi tidak hanya dalam kuantitas dan kualitas sistem perpajakan, melainkan meliputi seluruh aspek dari sistem administrasi perpajakan. Dunia dahulu hanya mengenal sistem pembayaran pajak manual, dimana para petugas pajak mendatangi wajib pajak untuk menagih pajak bagi wajib pajak. Seiring dengan berjalannya waktu, dikembangkan pula model-model sistem pemungutan pajak yang lebih efektif, serta efisien dalam hal pemenuhan asas-asas perpajakannya.
Bila dahulu sistem pemungutan pajak hanya mengenal sistem Official Assesment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, maka seiring dengan waktu, untuk mencegah penghindaran pajak yang mungkin terjadi dengan pemberlakuan sistem tersebut, maka berkembang pula sistem pemungutan pajak lainnya, seperti halnya sistem Self Assesment dan sistem Withholding.
Sistem-sistem tersebut secara hukum memiliki dasar hukum yang memadai untuk dilaksanakan. Namun secara asas perpajakan, patut dicermati, bagaimana kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak ini. Selain itu juga patut dicermati, bahwa tidak semua jenis pajak harus mengikuti suatu sistem tertentu yang dianggap paling memadai dibanding sistem lainnya.

B. Permasalahan Pokok
Dalam makalah penelitian ini, penyusun beberapa merumuskan permasalahan pokok, antara lain adalah :
1. Bagaimanakah implementasi mengenai hak dan kewajiban wajib pajak pada masing-masing sistem pemungutan pajak?
2. Apa saja kekurangan dan kelebihan masing-masing sistem pemungutan pajak bila dibandingkan dengan sistem pemungutan pajak lainnya?
3. Bagaimanakah penerapan Advance Ruling dalam kaitannya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak dalam sistem Self Assesment?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Mengetahui implementasi hak dan kewajiban wajib pajak dalam masing-masing sistem yang berlaku.
2. Mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing sistem pemungutan pajak bila dibandingkan dengan sistem pemungutan pajak lainnya.
3. Mengetahui penerapan Advance Ruling dalam sistem Self Assesment.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pajak Penghasilan
Banyak ahli yang telah mendefinisikan pajak dalam masing-masing perspektif mereka. Menurut Prof. Rochmat Soemitro, Guru Besar bidang Hukum Pajak pada Universitas Padjajaran, Bandung, sebagaimana dikutip oleh Safri Nurmantu dalam salah satu bukunya adalah :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir kepada sektor pemerintah), berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum”

Kemudian menurut Rimsky K. Judisseno, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodihardjo yang memberikan pengertian pajak secara bebas, yakni sebagai berikut :
“Pajak adalah suatu kewajiban negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai negara berupa pembangunan nasional, yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara”

Untuk melengkapi karakteristik pajak tersebut, kemudian Prof. Rochmat Soemitro mensyaratkan bahwa suatu pungutan dapat terkategori sebagai pajak apabila memenuhi karakteristik dan unsur-unsur tertentu yang dimiliki oleh pajak, yakni antara lain :
- Iuran dari rakyat kepada negara.
- Yang berhak memungut pajak hanya negara, dan iuran tersebut berupa uang, bukan barang.
- Berdasarkan Undang-undang dan aturan pelaksanaannya
- Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjukkan.
- Digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Mengenai definisi penghasilan, dalam dunia akuntansi secara umum, dikenal tiga konsep dasar mengenai penghasilan dalam dunia akuntansi, yakni sebagaimana dikutip oleh schroeder, Clark dan Cathey dalam buku Financial Accounting Theory and Analysis, yakni antara lain :
- Psychic include which refers to satisfaction of human wants,
- Real Income, which refers to increases in economic wealth, and
- Money income which refers to increases in the monetary valuation of resources.

Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa dalam dunia akuntansi, yang dikenali sebagai bentuk dari penghasilan adalah : secara fisik (terpenuhinya keinginan seseorang), secara riil (berkaitan dengan peningkatan kekayaan ekonomis seseorang), serta secara kepemilikan uang, yakni dengan naiknya nilai keuangan dari sumber daya yang dimiliki suatu entitas.
Dalam literatur yang lain, disebutkan bahwa penghasilan adalah penambahan kotor terhadap kepemilikan modal yang dihasilkan dari kegiatan usaha (bisnis) terkait dengan peningkatan pendapatan, sebagaimana dikutip dalam buku Accounting Principles,
“revenue are the gross increases in owners equity resulting from business activities entered into the purposes of earning incomes” .

Sedangkan Harry I Wolk dan Michael G Tearney dalam buku Accounting Theory : A Conceptual and Institutional Approach mengatakan :
“...Revenue should be identified with the period during which major economic activities necessary to the creation and disposition of goods and services has can be accomplished”

Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa penghasilan juga dapat diidentifikasi sebagai periode dimana aktifitas perekonomian utama yang diperlukan dalam pembuatan dan pemindahan barang dan jasa dapat dilaksanakan.
Namun jika mengambil definisi yang pas, yang juga dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Indonesia, maka yang menjadi definisi dalam hal pajak penghasilan adalah pajak atas penghasilan secara luas, yakni pajak yang dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya. Pengertian penghasilan disini tidak memperhatikan adanya penghasilan hanya dari sumber tertentu saja tetapi lebih kepada tambahan kemampuan ekonomis yang ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara pengertian, tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak merupakan alat ukur terbaik mengenai kemampuan wajib pajak untuk ikutbersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dalam dunia perpajakan di Indonesia sendiri dikenal konsep Ability to Pay Approach. Dari beberapa definisi yang sudah dibahas di atas belum ada satupun definisi yang bisa diterima secara universal untuk digunakan apapun tujuannya (tidak terbatas hanya untuk pajak). Tetapi dalam dunia perpajakan kemudian dikenal sistem yang terhitung paling banyak mempengaruhi pembentukan tax policy di berbagai negara, karena dianggap paling mencerminkan keadilan, sekaligus layak diterapkan (applicable). Konsep ini dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon, yang kemudian lebih dikenal dengan SHS Concept. Inti dari konsep ini antara lain adalah :
a. George Schanz mengemukakan apa yang disebut dengan the accreation theory of income, yang menyatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai suatu barang dan jasa.
b. Haig merumuskan penghasilan sebagai the money value of the next accreation to one’s economic power between two points of time, atau the increaseor accreation in one’s power to satisfyhis wants in a given period in so far as that power consist.
c. Menurut Henry C Simons, penghasilan perorangan secara luas mengandung arti sebagai pemanfaatan kontrol atas penggunaan sumber daya masyarakat yang terbatas.
“It has to do not with sensations, services, or goods but rather with rights which command prices (or to which prices may be imputed).

Penghitungannya termasuk :

- of the amount by which the value a person’s store of property rights would be increased as between the beginning and end of period, if hehad consumed (destroyed) nothing ; or,
- of the value rights which he might have exercised in consumption without altering the value of his store of rights.

Dari kedua asumsi di atas, kemudian Simons menngembangkan definisi penghasilan sebagai berikut :
“the change in the value of the store property right between the beginning and the end of the period in question. In the words, it is merely the result obtained by adding consumption during the period to ‘wealth’ at the end of the period and then subtracting ‘wealth’ at the beginning”.

Konsep-konsep inilah yang kemudian dirumuskan hingga dijadikan dasar penentuan penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia.

B. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam dunia perpajakan dikenal beberapa sistem pemungutan pajak (stelsel). Menurut Silvani, dalam bukunya Improving Tax Compliance, sebagaimana dikutip oleh Haula Rosdiana, yang menjadi tujuan dari administrasi perpajakan adalah mendorong terjadinya kepatuhan sukarela (voluntary compliances). Kepatuhan pajak sukarela tersebut dapat didorong apabila administrasi perpajakan secara tegas menunjukkan dapat mendeteksi dan menangkap para wajib pajak yang tidak menjalankan kewajibannya atau wajib pajak yang tidak patuh, serta menerapkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa pengecualian.
Oleh karenanya, menurut Mansury, untuk terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, setidaknya harus memiliki dasar-dasar sebagai berikut :
- Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang memudahkan bagi administrasi dan memberi kejelasan pada wajib pajak.
- Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan yang dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan wajib pajak.
Menurut Wirawan B Ilyas dan Richard Burton dalam buku Hukum Pajak, terdapat empat jenis teknik pemungutan pajak , antara lain :
a. Sistem Official Assesment, dimana dalam sistem ini fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besaran pajak yang terhutang. Di Indonesia, sistem ini diterapkan pada administrasi Pajak Bumi dan Bangunan.
Secara umum, sistem Official Assesment memiliki ciri-ciri antara lain :
- Wewenang unuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
- Wajib pajak bersifat pasif
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh fiskus.
Menurut Gunadi, di dalam Official Assesment terdapat dua hal penting, yaitu :
- Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan
- Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
b. Sistem Self Assesment, yakni dimana wajib pajak menghitung, menetapkan, dan menyetor sendiri, serta kemudian melaporkan jumlah pajak terutang. Ciri-ciri dari sistem ini antara lain adalah :
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
- Wajib pajak bersifat aktif, karena melakukan sendiri kegiatan menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.
- Fiskus hanya berperan sebagai pengawas (controller).
c. Sistem Semi Self Assesment, yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya utang pajak
d. Sistem Withholding, dimana pihak ketiga (yang berhubungan dekat dengan wajib pajak), berperan sebagai pihak penghitung, penetap, dan penyetor, serta kemudian melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut tersebut. Khusus bagi negara berkembang, Mansury menambahkan bahwa withholding tax amat penting. Administrator akan menjadi lebih baik dalam penegakan hukum pajak, dan juga merupakan solusi bagi pengumpulan pajak (tax collection).
Menurut Leon Yudkin dalam buku a Legal Structure for Effective Income of Tax Administration, yang dimaksud dengan withholding tax atau pajak potong/pungut adalah :
“A withholding tax is not an income tax, but a means of collecting that tax in as much as whatever is collected is applied toward the payment of the total income tax liabilities. By dominating the withheld amount as a tax, the Government can enforce the withholding liabilities upon the person who under the tax laws is obliged to withhold. Essentially, the withholding tax requires a payor to withhold”.

Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa withholding tax, atau yang biasa di Indonesia dikenal dengan pajak potong/pungut bukanlah suatu jenis pajak penghasilan, melainkan sebuah cara atau teknik pemungutan pajak yang pelaksanaannya kemudian dikalkulasikan dalam pembayaran total pajak terutang. Dengan mendominasikan pajak potong/pungut sebagai pelengkap jumlah pajak terutang, pemerintah mampu memaksakan pemungutan/pemotongan pajak tersebut lewat siapapun yang atas dasar hukum diberikan kewenangan dalam memotong/memungut pajak, sehingga dibutuhkan dalam pelaksanaannya pihak ketiga yang bertindak sebagai pihak pemotong/pemungut pajak tersebut.

D. Hak & Kewajiban Wajib Pajak
Hak wajib pajak sebagaimana diuraikan oleh Prof. Duncan Bentley didalam artikelnya yang berjudul The Significance of Declarations of Taxpayers’ Rights and Global Standards for the Delivery of Tax Services by Revenue Authorities berkembang sebagai berikut :
1) Awal dari hak wajib pajak adalah hak dasar didalam sistem perpajakan modern yaitu hak untuk melakukan review atas keputusan pajak dan hak-hak dasar dalam prosedur yang berhubungan dengan pemungutan dan penegakan pajak.
2) Perkembangan kedua dari hak wajib pajak adalah tuntuan atas perbaikan kerangka legislasi dan administrasi untuk meningkatkan interaksi antara wajib pajak dan fiskus. Hak substansial dan prosedural diperkenalkan untuk mengatur mengenai kerahasiaan, penentuan lingkup akses, pencarian, besarnya provisi dan jangkauan hak-hak administrative sebagai fasilitas dalam proses administrasi.
3) Perkembangan berikutnya atas hak-hak wajib pajak dilanjutkan oleh adanya deklarasi atas hak wajib pajak untuk menimbulkan kepastian bagi wajib pajak melalui peningkatan transparansi antara pihak fiskus dan wajib pajak.
Sedangkan kewajiban wajib pajak adalah membayar kewajiban pajak yang terutang atas penghasilannnya, mengenai hal lainnya akan bergantung kepada sistem pemungutan pajak yang berlaku pada suatu negara sebagaimana telah dijelaskan didalam sistem pemungutan pajak.

BAB III
PEMBAHASAN

Semenjak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983, yang merupakan awal dimulainya reformasi perpajakan Indonesia menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), Indonesia telah memperluas sistem pemungutan pajaknya. Semula untuk hampir keseluruhan jenis pajak, diberlakukan sistem Official Assessment. Namun setelahnya, diperkenalkan pula sistem Self Assessment yang hingga kini, kedua sistem tersebut masih diterapkan.
Sistem Self Assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar (menyetor), dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berbeda dengan sistem Official Assesment, dimana kegiatan aktif pemenuhan kewajiban perpajakan berada di tangan fiskus.

A. Implementasi Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Fiskus dan Wajib Pajak
Dalam penerapannya, kedua sistem pemungutan pajak (Self Assesment dan Official Assesment) masing-masing memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan lainnya. Perbedaan ini menentukan pihak yang paling berperan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang ada.
Dalam sistem pemungutan Official Assesment, pihak fiskus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan suatu wajib pajak. Wajib pajak bersifat pasif mengikuti ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan oleh fiskus. Dengan demikian, utang pajak baru akan timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Pihak wajib pajak hanya berkewajiban membayarkan pajak sejumlah yang telah ditetapkan oleh fiskus. Untuk kewajiban perpajakan sebagaimana dimiliki oleh wajib pajak dalam sistem Self Assesment dilakukan oleh pihak fiskus (menghitung/memperhitungkan jumlah pajak terutang).
Berbeda dengan sistem Self Assesment. Dalam sistem ini, wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak berperan aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Peran fiskus tidak ikut campur dan hanya sebatas mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak dari Wajib Pajak.
Dalam sistem ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menjalankan Self Assesment System, yang secara tidak langsung memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak. Artinya, jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu, sistem Self Assessment mewajibkan Wajib Pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Perbedaan yang ada pada kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem Official Assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajaknya menjadi sistem Self Assessment dimana penetapan besarnya jumlah pajak yang seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri pula.
Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya. Fiskus dalam sistem Self Assessment hanya bertugas mengawasi pelaksanaannya, yaitu dengan melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Sistem Self Assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.




B. Kekurangan dan Kelebihan Sistem Pemungutan Pajak
Dalam sistem Official Assesment, tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan yang diwakili oleh fiskus sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkanoleh fiskus.
Dengan demikian, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Untuk menjaga keefektifan dari sistem pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah dengan memperkuat struktur fiskus dan administrasi perpajakan keseluruhan. Wajib pajak tidak berperan serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Self Assesment yang mengikutsertakan Wajib Pajak sebagai partisipan aktif dalam pelaksanaan administrasi perpajakan dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
Berbeda dengan sistem Official Assesment, Dalam sistem Self Assesment terdapat pemberian kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya, mulai dari mendaftarkan diri, kemudian menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya.
Sistem Self Assesment memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya. Secara otomatis, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat, yakni berupa denda bunga, ataupun kenaikan jumlah pajak yang terutang. Dalam beberapa hal, bahkan hukuman yang dikenakan akan sangat berat, seperti halnya sandera pajak(gijzeling) ataupun pidana pajak. Oleh karena itu, sistem Self Assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya (misal : untuk membayar jasa konsultan pajak). Selain itu Self Assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak, sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas parpajakan atau pemerintahan lainnya. Selain itu sistem Self Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Selama pelaksanaan sistem Self Assessment dimulai sejak pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah empat kali UU KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir pada tahun 2007. Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya.
Sering kali Wajib Pajak dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (DJP) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Dikarenakan Indonesia menganut sistem Self Assesment secara luas, hal ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Oleh karenanya kemudian, dalam sistem ini berlaku pula sistem Advance Ruling, dimana apabila ada wajib pajak mempertanyakan sesuatu hal berkaitan dengan regulasi perpajakan, maka fiskus memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Wajib Pajak tersebut.
Namun bagaimanapun, tindakan Wajib Pajak tersebut masih kurang efektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan Dirjen Pajak dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari DJP, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalahpahaman antara Wajib Pajak dengan Fiskus.
Dalam pelaksanaan sistem Self Assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan.
Penyuluhan perpajakan perlu dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan sistem self-assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem self-assessment kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi sebagai berikut:

Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a) Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (Self Assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Dari penjelasan tersebut diharapkan Wajib Pajak lebih memahami kewajiban perpajakannya,namun apakah sistem self-assessment tersebut telah memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan Fiskus, dimana sistem tersebut harus dapat mengefisiensikan administrasi pajak yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam memungut pajak dan memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan sistem Self Assessment, Dirjen Pajak (fiskus) melakukan dua fungsi utama :
2. Fungsi pemeriksaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk meyakinkan sistem Self Assessment dilaksanakan dengan baik, maka juga perlu dilakukan pengawasan (law enforcement) dalam pelaksanaannya. Peran pengawasan ini dilakukan oleh fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection).
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam sistem Self Assessment ada ketentuan bahwa pelaporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental.
Hampir serupa dengan tujuan pemeriksaan pajak, penyidikan pajak dilakukan sebagai salah satu upaya Dirjen Pajak untuk menindak Wajib Pajak yang telah melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila WP melakukan hal-hal seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penyidikan untuk mencari dan mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak tersebut.
Terakhir, penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan perhitungan menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu, Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Dalam praktiknya, sistem Self Assessment ini masih terbentur dengan beberapa kendala, diantaranya sebagai berikut :
1. Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri masih diragukan kebenarannya,oleh karena itu dapat menimbulkan terjadinya penyeludupan pajak karena yang mengetahui kebenaran SPT yang dilaporkan Wajib Pajak hanya Wajib Pajak itu sendiri.
2. Masih banyaknya Wajib Pajak yang kesulitan untuk menghitung/memperhitungkan pajak yang terutang, karena di dalam undang-undang tidak dijelaskan secara terinci bagaimana menghitung pajak terutang untuk berbagai jenis usaha, sehingga banyak perusahaan yang akhirnya melakukan kesalahan dalam menghitung pajak terutangnya. Lain halnya ketika Wajib Pajak harus melakukan rekonsiliasi laporan keuangan komersial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan menjadi laporan keuangan fiskal. Seperti yang dilakukan di Belanda, dimana laporan keuangan fiskal merupakan by product dari akuntansi komersial.
3. Kendala juga tidak terjadi di pihak Wajib Pajak, di pihak fiskus juga terjadi masalah yaitu terbatasnya akses data Wajib Pajak yang dimiliki oleh pihak ketiga sehingga mempersulit Dirjen Pajak untuk mendeteksi kebenaran isi SPT yang dilaporkan Wajib Pajak, sehingga pengawasan belum dapat dilakukan secara optimal.

C. Penerapan Advance Ruling dalam Administrasi Perpajakan Indonesia
Dalam sistem perpajakan Indonesia, yang menganut beberapa sistem (Official Assesment untuk Pajak Bumi dan Bangunan serta BPHTB, serta Self Assesment untuk bermacam-macam jenis pajak lainnya seperti pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai), kemudian diterapkan berbagai aturan tambahan untuk membantu penerapan sistem tersebut di lapangan.
Dalam sistem Self Assesment dikenal istilah Advance Ruling sebagai salah satu alat pembantu penerapan sistem Self Assesment di negara-negara yang mengaplikasikan sistem Self Assesment ini. Advance Ruling bahkan didaulat sebagai salah satu kunci keberhasilan dari penerapan sistem Self Assesment di negara yang memberlakukan sistem ini.
Yang dimaksud dengan Advance Ruling dalam sistem Self Assesment adalah kewajiban yang dimiliki oleh fiskus untuk selalu menjawab dan mengkonsultasikan berbagai pertanyaan dan kebingungan Wajib Pajak terkait dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka selaku Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan mereka sesuai dengan aturan dan perundangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya, sistem Advance Ruling ini menuai berbagai kendala. Kendala yang umum terjadi adalah terkait dengan kekurangan sumber daya yang dimiliki oleh fiskus untuk melayani setiap pertanyaan dan kebingungan Wajib Pajak terkait dengan kewajiban perpajakan yang dimilikinya. Kendala ini berkaitan dengan kurangnya kapabilitas fiskus untuk memberikan panduan yang komprehensif bagi setiap wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Menurut beberapa fiskus, kapabilitas yang dimaksud bukanlah berkaitan dengan kemampuan, melainkan berkaitan dengan kewenangan, karena setiap segala sesuatu hal, baik sesuai ataupun tidak dengan regulasi yang ada, apabila secara resmi keluar dari fiskussebagai lembaga (Dirjen Pajak) adalah telah memiliki kekuatan hukum tertentu.
Kesulitan implementasi Advance Ruling ini merupakan ironi bagi sistem administrasi perpajakan Indonesia, karena dengan tidak berjalannya Advance Ruling sebagaimana seharusnya, maka sistem administrasi berjalan secara pincang. Di satu sisi Wajib Pajak harus melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Di sisi lain, Wajib Pajak tidak memiliki dasar pijakan yang jelas apabila mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya terkait dengan kekurangjelasan peraturan dan regulasi yang ada. Di sini, Wajib Pajak berada dalam posisi yang dilematis. Apabila melaksanakan kewajiban tidak sesuai dengan regulasi dikarenakan ketidakjelasan aturan, maka Wajib Pajak menghadapi resiko hukuman, baik secara administratif maupun pidana. Apalagi apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban tersebut, secara otomatis sanksi sudah menunggu wajib pajak tersebut.
Seharusnya, setiap negara, termasuk Indonesia, yang telah berkomitmen dalam menerapkan sistem Self Assesment dalam administrasi perpajakannya, terlebih dahulu telah mempersiapkan sarana dan prasarana baik fisik maupun non-fisik terkait dengan penerapan sistem Self Assesment ini, termasuk di dalamnya sarana pendukung penerapan sistem Advance Ruling ini. Dengan adanya persiapan yang memadai, sistem Self Assesment yang berguna dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja fiskus dalam pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik. Kepastian dari sisi Wajib Pajak juga akan didapat sebagaimana kepastian dari sisi regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.


BAB IV
KESIMPULAN

1. Dalam implementasi sistem pemungutan pajak, baik sistem Official Assesment maupun sistem Self Assesment, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Perbedaan ini menyangkut keaktifan dari Wajib Pajak selaku pihak pengemban beban pajak terutang.
Dalam sistem Official Assesment, dimana fiskus aktif sebagai penghitung dan pemberi ketetapan atas besaran pajak terutang dari Wajib Pajak, kewajiban dari pihak Wajib Pajak hanyalah sebatas membayar (menyetor) pajak yang terutang kepada kas negara. Proses pemungutannya dilakukan langsung oleh fiskus yang juga bertindak sebagai pihak pemungut. Di dalam sistem Official Assesment ini, peran fiskus amat vital, karena fiskus berperan sebagai penghitung, dan pemberi ketetapan jumlah pajak yang terutang. Dengan demikian pihak fiskus yang akan menentukan sejauh mana efektifitas dan efisiensi dari sistem pemungutan secara Official Assesment.
Berbeda dengan sistem Official Assesment, dalam sistem Self Assesment pihak Wajib Pajak justru yang berperan aktif disini. Pihak Wajib Pajak berkewajiban mulai dari mendaftarkan diri (untuk memperoleh NPWP), kemudian menghitung, menyetor, serta melaporkan pajak terutangnya. Begitupun halnya dalam hal pemeriksaan dan penyidikan, dimana Wajib Pajak berkewajiban memberikan segala yang dibutuhkan oleh pihak fiskus untuk memperoleh bukti yang menyatakan kepatuhan Wajib Pajak terhadap regulasi yang berlaku.
Mengenai hak yang dimiliki Wajib Pajak dalam implementasi kedua sistem ini juga berbeda. Dalam hal sistem Official Assesment, karena bersifat pasif, maka hak Wajib Pajak terbatas pada hak untuk dapat memperoleh ketetapan pajak yang berkaitan dengan pajak terutangnya secara jelas dan tepat waktu, guna menjamin terlaksananya kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, dalam sistem Self Assesment, wajib dimana dalam sistem ini justru pihak Wajib Pajak yang aktif melaksanakan kewajiban perpajakan yang dimilikinya sehingga hak yang diperoleh oleh wajib pajak lebih luas dibandingkan dengan official assesment system serta Wajib Pajak memiliki hak untuk meminta penjelasan kepada pihak fiskus selaku pengawas dalam sistem ini. Hak meminta penjelasan tersebut diantaranya tercakup dalam Advance Ruling, yang mewajibkan fiskus untuk memberi feedback optimal kepada Wajib Pajak agar dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya.

2. Dari segi kekurangan dan kelebihan, masing-masing sistem memiliki kekurangan dan kelebihan sendiri sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Dalam Sistem Official Assesment, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya. Untuk menjaga keefektifan dari sistem pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah dengan memperkuat struktur fiskus dan administrasi perpajakan keseluruhan.
Dalam sistem Official Assesment juga, Wajib pajak tidak berperan serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Self Assesment yang mengikutsertakan Wajib Pajak sebagai partisipan aktif dalam pelaksanaan administrasi perpajakan dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Namun dari sisi kelebihannya, sistem Official Assesment menjadikan pihak fiskus dapat lebih mengontrol kepatuhan dari pihak Wajib Pajak, karena pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan hanya sebatas pada kepatuhan wajib pajak akan pembayaran jumlah pajak terutangnya saja.
Dalam sistem Self Assesment terdapat tambahan biaya (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan relatif mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya. Selain itu Self Assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak, sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas parpajakan atau pemerintahan lainnya. Selain itu sistem Self Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Kekurangan pada self assesment system dalam hal meningkatkan volunatary compliance dapat juga dibantu oleh penerapan sistem witholding dimana pada sistem tersebut kewajiban wajib pajak dipindahkan dipindahkan kepada pihak lain pemberi penghasilan sehingga ada kepastian atas penerimaan pajak.

3. Proses implementasi Advance Ruling di Indonesia belum terlaksana dengan baik sesuai dengan yang seharusnya. Secara konseptual, Advance Ruling memerlukan perangkat regulasi yang menjamin terpenuhinya hak Wajib Pajak untuk meminta arahan dan petunjuk prosedural disaat terbentur dengan peraturan yang ada. Best Practice di berbagai negara menunjukkan bahwa pada mayoritas negara yang menerapkan sistem Self Assesment telah mengakomodasi hak tersebut lewatr Undang-undang Perpajakannya. Di Indonesia, belum ada peraturan yang eksplisit mengatur mengenai pelaksanaan Advance Ruling sebagai bagian tak terpisahkan dari penerapan sistem pemungutan pajak Self Assesment.

REFERENSI

Buku :
  • Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Jakarta : PT. ERESCO, 2000
  • Gunadi, dkk., Perpajakan, Jakarta : Lembaga Penerbit FE, 1997
  • Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2004
  • Leon Yudkin, A Legal Structure for Effective Income of Tax Administration, International Tax Program, Harvard Law School, Cambridge : Harvard College, 1971
  • Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Jakarta : Kelompok Yayasan Obor, 2003
  • R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta : Ind Hill-Co, 1996
  • Rosdiana, Haula, Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Program Pelatihan Konsultan Pajak, Jakarta : Pusat Kajian Ilmu Administrasi, 2005
  • Schroeder, Richard G, Myrtle W Clark, Jack M Cathey, Financial Accounting Theory and Analysis, Tax Reading and Cases, 7th edition, John Wiley & Sons Inc., USA : 2001
  • Simons, Henry C, Personal Income Taxation : The Definition of Income as a Problem of Fiscal Policy, USA : The University of Chicago Press, Midway Reprint, 1980
  • Sommerfeld, Ray M, an Introduction to Taxation, London : Harcourt Brace Javanovic Inc., 1982
  • Weygand, Jimmy J, Donald E Kieso, Paul D Kimmel, Accounting Principles, John Wiley & Sons Inc., USA : 2002
  • Wolk, Harry I, Michael G Tearney, Accounting Theory : a Conceptual & Institutional Approach 5th edition, USA : South Western College Publishing, 2001

Simposium Paper :
  • Bentley, Duncan (2002), The significance of declarations of taxpayers’ rights and global standards for the delivery of tax services by revenue authorities, International Symposium on Japan’s Tax Reforms: In commemoration of the 100th anniversary of the birth of Dr Carl S Shoup, 5 June 2002 (Tokyo) and 7 June 2002 (Osaka)

Internet :
www.pajak.go.id
www.pajakonline.com
www.ortax.org

1 komentar: