Rabu, 18 November 2009

Royalti vs Jasa Teknik

Royalti vs Jasa Teknik
Bias dalam definisi Jasa Teknik & Royalti di dalam UU No 36/2008 (Tentang Perubahan keempat atas Pajak Penghasilan)

Oleh : Mikail Jam'an, Naslul Wirda, Raynold Tambunan & Sunarta Pormando
6 Oktober 2009

I. PENDAHULUAN

Dalam era globalisasi ini, banyak bermunculan format bisnis baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Format baru dalam berbisnis ini timbul didorong oleh kebutuhan manusia untuk dapat lebih mengoptimalkan sebaik-baiknya potensi yang dimilikinya demi memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin, termasuk perkembangan teknologi yang terus berjalan. Dari sinilah kemudian timbul jenis-jenis bisnis baru, mulai dari waralaba (franchise), e-commerce, telemarketing, dan lain sebagainya.
Dalam kaitannya dengan bisnis franchise, atau lebih dikenal dalam kosakata Indonesia sebagai waralaba, perkembangannya terasa cukup signifikan. Bahkan waralaba, khususnya yang berbentuk mini-market kini bukan hanya menjadi monopoli franchisee di daerah metropolitan saja, melainkan telah merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Bahkan di beberapa daerah, waralaba yang ada mulai menciptakan persaingan yang sengit, tidak hanya antar pemain waralaba, melainkan juga dengan pengelola bisnis non-waralaba semisal pedagang pasar tradisional dan supermarket besar.
Melihat perkembangan yang cukup signifikan, tidaklah mengherankan, karena perputaran uang yang terlibat dalam bisnis tersebut juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Melihat jumlahnya yang ribuan, tidak salah apabila omzet yang dihasilkan oleh bisnis ini menyentuh angka yang cukup menjanjikan. Hal ini dengan kata lain juga mengindikasikan besarnya potensi pendapatan negara dalam bidang pajak yang dapat diraih dari bisnis ini.
Sayangnya, potensi pemasukan pajak dari sektor franchise ini belumlah dapat dioptimalkan sebagaimana besarnya bisnis yang berjalan. Hal ini dikarenakan banyaknya pelaku bisnis lisensi yang tidak mencatatkan usahanya kepada pemerintah . Dalam praktiknya, perusahaan pemberi lisensi (franchiser) umumnya memungut dua hingga tujuh persen dari omzet penjualan perusahaan penerima lisensi (franchisee) dalam bentuk royalti. Pungutan ini di luar tarif PPh 20 persen yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, franchiser memperoleh hak atas royalti atas penggunaan merek yang dipakai franchisee. Tetapi, besar kemungkinan pemerintah tidak memperoleh pemasukan dari PPh atas royalti yang diperoleh franchiser atas praktik bisnis lisensinya. Hal itu terjadi karena banyak pelaku bisnis lisensi tidak mencatatkan usahanya ke pemerintah hingga kini. Padahal, jumlah pebisnis lisensi bisa ribuan perusahaan.
Perusahaan pemilik lisensi tidak pernah menyetor pajak karena landasan aturan dalam bisnis lisensi tidak terlalu kuat. Akibatnya, pemerintah dirugikan dari penerimaan pajak royalti. Padahal secara substansi, praktik bisnis waralaba menggunakan lisensi itu menimbulkan kegiatan usaha, proses produksi, dan keuntungan. jadi, seharusnya termasuk dalam kegiatan yang terutang pajak.
Dalam Tulisan ini, selain memfokuskan pada implementasi perpajakan atas bisnis franchise, kami juga menitikberatkan tentang hambatan-hambatan yang timbul dalam pengenaan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik, terutama hambatan mengenai kesulitan dalam mendiferensiasikan definisi mengenai penghasilan yang akan dikenakan pajak penghasilan, apakah penghasilan tersebut terklasifikasi sebagai royalti ataukah terklasifikasi sebagai imbalan jasa teknik (fees for technical services).
Dalam Tulisan ini, kami mengambil referensi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh ibu Ning Rahayu (Thesis) mengenai Pajak Penghasilan atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun Perjanjian Internasional (Suatu Tinjauan untuk Meningkatkan Kepastian Hukum & Mencegah Penghindaran Pajak).

Pokok permasalahan
pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi perpajakan atas penghasilan yang diperolehdari bisnis franchise berdasarkan ketentuan yang ada?
2. Bagaimanakah penerapan asas kepastian dalam pendefinisian royalti dan imbalan jasa teknik dalam regulasi perpajakan Indonesia?
3. Apa saja hambatan yang ditemui dalam implementasi perpajakan penghasilkan atas royalti dan imbalan jasa teknik

II. Landasan Pustaka

II. 1 Franchise
II. 1.A Deskripsi Franchise
Perkembangan bisnis waralaba, atau yang lebih populer dalam istilah asalnya yakni franchise, memang tengah berkembang dengan pesat, khususnya di Indonesia. Dalam dunia perdagangan di Indonesia, bisnis secara franchise memang terhitung cukup menjanjikan. Pengembangan konsep franchise, antara yang bersifat kemitraan ataupun non-kemitraan telah menjamin perkembangan jenis usaha ini di tanah air.
Bila ditinjau dari segi etimologis (kebahasaan), kosakata franchise berasal dari bahasa perancis yang berarti bebas dari kungkungan/belenggu. Hakikat dari pengertian waralaba adalah mandiri atau bebas. Sedangkan dalam konteks bisnis, secara terminologis franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri pada wilayah tertentu. Waralaba sendiri merupakan kosakata dari Bahasa Indonesia yang berasal dari kata “wara” yang artinya lebih atau istimewa, serta “laba” yang berarti untung. Jadi waralaba berarti bisnis yang menjanjikan keuntungan istimewa/lebih.
Definisi franchise menurut Donald F Kuratko & Richard M. Hodgets adalah sebagai “any arrangement in which the owner of trademark, trade name, or copyright has licensed other to used it in selling goods or services ”. Atau dengan terjemahannya dapat didefinisikan sebagai perjanjian dimana pemilik dari merek dagang, nama dagang atau hak cipta memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya dalam menjual barang atau jasa.
Menurut Kieso & Weygandt, “Franchise adalah perjanjian dimana pemilik waralaba memberikan hak kepada pewaralaba untuk menjual produk atau jasa tertentu, dengan menggunakan nama atau merek dagang tertentu atau untuk menjalankan fungsi tertentu, biasanya didalam sebuah areal geografis tertentu yang telah dirancang ”.
Serupa dengan Kieso & Weygandt namun dengan pernyataan tambahan berupa tambahan adanya pemberian hak dengan didasari adanya waktu pemakaian hak dan syarat-syarat berlakunya hak tersebut, Smith dan Skousen memberi definisi terhadap franchise, yakni “Franchise (Hak Monopoli) adalah hak khusus atau istimewa yang diterima oleh suatu badan usaha ataupun perorangan sebagai “agen tunggal” (franchisee) guna melaksanakan fungsi bisnis tertentu,atau menggunakan produk atau jasa tertentu, biasanya di wilayah geografis tertentu. Pemberi hak monopoli (franchisor) biasanya menetapkan waktu pemakaian hak tersebut dan syarat berlakunya”
Dari deskripsi Kuratko & Hodgets dapat disimpulkan bahwa yang dijadikan objek dalam franchise adalah 1) Merek atau nama dagang (Trademark / tradename) dan hak cipta.
Merek atau nama dagang adalah sebuah kata, atau simbol yang membedakan atau mengidentifikasikan sebuah badan usaha, atau produk. Sedangkan hak cipta adalah hak yang dimiliki oleh penulis, pelukis, musisi, pematung dan pelaku seni lainnya terkait kreasi dan ekspresi yang telah diciptakan . Definisi yang disebutkan oleh Kuratko & Hodgets tersebut tidak mencakup objek franchise berupa paten, padahal dalam hal waralaba, paten juga merupakan salah satu unsur yang termasuk didalamnya. Adapun jenis dari paten adalah 1) paten produk 2) paten atas prosess, paten produk mencakup produk secara fisik dan paten atas proses melingkupi hak khusus bagi pemilik hak paten atas penggunaan proses, pembuatan dan penjualan produk tanpa hambatan dari pihak lain yang tidak memiliki hak paten tersebut .
Dilihat melalui aspek legal, waralaba memiliki arti persetujuan secara legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari pemilik (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang diatur dalam aturan tertentu. Kata mandiri disini lebih pada arti kepemilikan. Franchisee bukan anak/cabang perusahaan melainkan perusahaan yang mandiri. Hubungan antara franchisor dan franchisee bersifat ekual, dimana masing-masing memiliki hak dan kewajiban tertentu terkait bisnis yang dijalankan.
Pendapat serupa juga diungkapkan Gunadi dalam buku Pajak dalam Aktivitas Bisnis sebagai berikut :
“Dalam kegiatan franchising, paling tidak terikat dua pihak yang saling berhubungan yakni franchisor (penjual) dan franchisee (pembeli). Franchisee membeli suatu bisnis dan menarik manfaat dari pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan yang dapat disediakan penjual (pemilik franchise)”.
Bagi kedua pihak, baik franchisor maupun franchisee, bisnis secara franchise menjanjikan kemudahan yang tidak dimiliki oleh bisnis lainnya. Bagi franchisor, bisnis secara franchise memungkinkan untuk memperluas (ekspansi) usaha secara cepat dan mudah, menancapkan dominasi merk, serta menambah penghasilan tanpa harus mengambil resiko investasi yang meluas dan tanpa perlu merombak atau mengubah struktur dan kultur manajemen. Sedangkan bagi pihak franchisee, cara bisnis ini menarik karena franchise tidak harus mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang akan dipasarkannya, yang selain makan waktu juga penuh dengan resiko. Dengan sistem franchise, produk atau jasa yang akan ditawarkan sudah jelas, sudah dapat dilihat bukti keberhasilannya, lengkap dengan strategi pemasarannya. Dengan kata lain, franchisee hanya tinggal menumpang sukses kepada sang franchisor walaupun perlu adanya pertimbangan biaya (pembagian hasil atau fee atas waralaba berupa royalti yang harus dibayar) dengan manfaat ekonomis yang diperolehnya.

II. 1.B Perlakuan Akuntansi Atas Franchise
Franchise dalam konteks akuntansi dapat dimasukan dalam golongan aset tidak berwujud (intangible aset) dikarenakan adanya sifat-sifat yang melekat didalam franchise yaitu : 1) dapat diidentifikasi, 2) sifat perolehannya yang dapat diperoleh dari pihak lain, atau merupakan pengembangan internal, 3) mempunyai masa manfaat yang diharapkan, dan 4) dapat dipisahkan dari keseluruhan perusahaan. Adapun definisi yang berkembang saat ini menyarankan bahwa aset tidak berwujud dapat diklasifikasikan sesuai dengan sumber perolehannya apakah itu dari dalam (pengembangan secara internal) ataupun dari luar (melalui pembelian dari pihak
lain) . Dimana atas aset yang diperoleh dari dalam tidak dapat dikapitalisasikan oleh pewaralaba sehingga harus dibebankan sesuai dengan alokasi periode masa manfaat atas franchise tersebut berlaku. Sedangkan atas aset waralaba yang diperoleh dari luar dapat dikapitalisasikan oleh pemilik waralaba dengan mengacu kepada deskripsi penggolongan elemen dalam laporan keuangan yaitu sesuatu digolongkan sebagai aset adalah yang merupakan sesuatu yang dapat memberikan manfaat ekonomis kepada entitas di masa depan sebagai akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu .



II. 2. Royalti
II. 2.A Deskripsi atas Royalti
Royalti erat kaitannya dengan kegiatan waralaba, dimana sesuai penjelasan sebelumnya pihak pewaralaba mempunyai kewajiban kepada pemilik waralaba untuk memberikan fee waralaba atau biasa juga disebut sebagai royalti.
Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti bisa diberikan dari definisi yang dikeluarkan oleh www.legal-explanation.com berikut ini :
“Royalty is the consideration paid to the creator of a property, idea, inventions etc, as a percentage of the revenue collected from sale of the products created, manufactured or developed using the idea, inventions or creations made by the creators”.
Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti dalam dunia perpajakan, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran (imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari suatu property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase tertentu dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan menggunakan property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.
OECD Model Conventions on Double Tax Avoidance (OECD MC) mengyatakan bahwa royalti merupakan bagian daripada passive income. Selain itu royalti menurut OECD MC Income Classification Rules merupakan penghasilan yang diperoleh dari assets or contractual relationship.
Roy Rohatgi menyatakan “royalty is normally a payment received for the use or the right to use any intangible right or know how under license ” atau terjemahannya “royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu sesuatu dibawah perizinan. Jadi disimpulkan bahwa Jenis-jenis sumber royalti adalah Hak atas aset tidak berwujud yang dapat berupa : :
• Pengetahuan tertentu yang bersifat rahasia (rahasia dagang)
Hak atas cara untuk pelaksanaan sesuatu hal (know how) berupa informasi eknis dan pengalaman yang penting untuk menjalankan aktivitas komersial yang bersifat rahasia berupa hak atas karya intelektual (HAKI) atau pengetahuan teknis rahasia.
• Jasa teknis dan bantuan teknis
Pemberian jasa teknis dan bantuan teknis dimana pemberi jasa bertanggung jawab atas lingkup pekerjaannya, serta imbal jasa diperoleh ketika jasa tersebut mencakup ide dan prinsip-prinsip dengan syarat rahasia. Atas hal penerimaan dari itu juga digolongkan sebagai royalti.

Mansury mendefinisikan royalti sebagai penghasilan dari penyerahan paten.atau harta tak berwujud lainnya untuk dipakai oleh pihak lain . Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris dari sang penemu.

Dalam dunia internasional, khususnya dalam dunia perpajakan internasional, dikenal dua jenis definisi dari royalti, yakni sebagaimana didefinisikan oleh OECD (OECD Model) dan PBB (UN Model) sebagai berikut :


Article 12
OECD Model

The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for information concerning industrial, commercial, or scientific experience

Article 12
UN Model

The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph, films or tapes used for radio or television broadcasting, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for the use of, or the right to use industrial, commercial or scientific equipment, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience

Berdasarkan perbandingan di atas jelas bahwa UN Model memberikan definisi yang lebih luas dibandingkan OECD Model tentang royalti, yakni UN Model juga mencakup :
• Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai hak cipta atas karya seni berupa pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio maupun televisi.
• Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai perlengkapan perindustrian, perdagangan dan perlengkapan ilmiah .



II.3 Imbalan Jasa Teknik
Tidak ada ahli yang secara khusus mendefinisikan Imbalan Jasa Teknik (fees for technical services). Namun secara singkat dapat diartikan bahwa Imbalan Jasa Teknik adalah imbalan yang diberikan kepada suatu pihak tertentu atas pekerjaan yang dilakukannya terkait dengan spesifikasi profesional suatu bidang khusus tertentu, termasuk di dalamnya seni dan teknik perancangan khusus.
Dalam penelitiannya, Ning Rahayu menyimpulkan bahwa dalam kumpulan treaty antara Indonesia dengan beberapa negara, didapat variasi definisi atas pengertian jasa teknik, antara lain :
1. Variasi pertama, pengertian jasa teknik tidak diberikan tersendiri, melainkan tercakup secara implisit dalam kata-kata “furnishing of services”, yaitu sebagai bagian dari kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) apabila telah memenuhi ambang batas waktu (time test). Dalam hal ini, imbalan jasa teknik yang dimaksud termasuk dalam bagian penghasilan dari usaha (business income)
2. Variasi kedua, yakni pengertian jasa teknik dicantumkan dalam pasal tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai imbalan jasa teknik (fees for technical services). Pengenaan pajak atas imbalan jasa teknik dilaksanakan dengan cara yang sama atas pengenaan pajak atas royalti, yaitu melalui pemotongan oleh pihak yang membayarkan jasa teknik, namun dengan penerapan reduce rate yang berbeda dengan reduced rate untuk royalti.
3. Variasi ketiga, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur mengenai royalti dan imbalan jasa teknik (royalties and fees for technical services). Jadi, baik jasa teknik maupun royalti diatur dalam pasal yang sama dan dengan pengenaan pajak yang sama, yaitu melalui pemotongan dengan pihak lain (withholding) serta dengan penerapan reduced rate. Namun demikian, pengertian mengenai royalti maupun jasa teknik diberikan masing-masing.
4. Variasi keempat, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur tentang royalti. Jadi, meskipun pada hakikatnya merupakan imbalan jasa teknik, namun dianggap sebagai royalti, sepanjang jasa teknik yang diberikan tersebut merupakan pelengkap (subsidiary) dan dilakukan sebagai upaya untuk memungkinkan pemakaian hak (hak cipta dan lain-lain), harta (hak paten, merk dagang, dan lain-lain), perlengkapan (perlengkapan perindustrian, ilmu pengetahuan dan perdagangan) dan informasi mengenai pengalaman (di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri). Apabila jasa teknik yang diberikan tersebut semata-mata merupakan jasa teknik yang bukan merupakan pelangkap (subsidiary) dari royalti, maka pemberian jasa teknik tersebut termasuk dalam pengertian furnishing of services yang tercantum dalam pasal mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT/Permanent Establishment). Dengan demikian, imbalan atas jasa teknik yang diperoleh tersebut merupakan penghasilan dari usaha (business income).

BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

Di dalam Indonesia, hingga saat ini, jumlah waralaba (franchise) aktif terhitung sekitar 250 waralaba. Dari jumlah itu, lebih banyak waralaba asing, dan hampir setengahnya berasal dari Amerika Serikat. Sekitar 50% diantaranya bergerak di bisnis makanan. Sedangkan saat ini waralaba lokal baru mencapai sekitar 50 waralaba dari jumlah keseluruhan tersebut.
Dari jumlah tersebut, hampir tidak ada perbedaan diantara jenis waralaba tersebut. Hanya saja, waralaba lokal mempunyai ciri-ciri yang sangat khas sekali, terutama dari jenis produk atau jasa yang dijualnya. Kebanyakan, waralaba lokal berkaitan dengan makanan dan budaya, seperti berbagai produk kerajinan, batik, ukiran, dan pakaian.
Lazimnya, waralaba asing akan masuk ke negara yang pendapatan per kapitanya di atas US$ 1.000 per tahun. Jika masuk ke negara yang per kapitanya di bawah US$ 1.000, menurut asosiasi Franchise Indonesia (AFI) maka potensi kegagalannya akan sangat terbuka. Nah, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai sekitar US$ 1.060. Di Jakarta sendiri, dimana ibukota negeri ini menjadi pusat kegiatan bisnis franchise ini, pendapatan perkapitanya bisa mencapai US$ 3.180.
Dengan prospek yang cukup bagus ini, setiap tahunnya, bisnis ini dapat tumbuh sekitar 10% sampai 15%. Namun perkembangannya sendiri belakangan ternyata melambat. Penyebabnya tidak lain adalah karena para pebisnis di sini belum matang. Usaha waralaba itu sendiri secara nature tidak bersifat instan. Dalam pengelolaannya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang tinggi serta kiat-kiat yang inovatif.





a. Implementasi Pajak Atas Penghasilan yang Bersumber dari Franchise
Dalam praktik bisnis franchise ini, franchise & royalty fee wajib ada dan menjadi syarat dalam suatu bisnis franchise. Ketiadaan unsur fee ini menjadi indikasi penyembunyian menyangkut keuntungan yang diperoleh oleh franchisor daribisnis ini.
Pada hakekatnya royalti adalah honorarium yang sewajarnya dibayar oleh licensee/franchisee, sebagai pemakai konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama pada licensor/franchisor dan pemilik bisnis waralaba tersebut.
Mendengar royalty fee mungkin sudah tidak asing lagi karena sering ditulis dan diucapkan di berbagai media, buku dan seminar-seminar publik. Namun demikian sebetulnya istilah tersebut adalah istilah yang lazim dipakai dalam bidang lisensi, distribusi maupun franchise. Dan di masing-masing bidang, royalty fee sejatinya lebih menitikberatkan pada aspek pemakaian/penggunaan karena memang royalty fee adalah biaya yang harus dibayar secara periodik atas penggunaan konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama dari franchisor yang bersangkutan oleh franchisee.
Dalam franchise sebagai suatu format bisnis yang dituangkan dalam suatu perjanjian antara franchisor sebagai pemilik dari hak intelektual, brand, logo dan sistem operasi dan franchisee sebagai penerima (konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama) royalty fee wajib dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor sesuai yang diperjanjikan dan dalam hal ini wajib dibayarkan setiap bulan/triwulan, sekali lagi, tergantung kesepakatan sebelumnya.
Mengenai berapa besarnya, tergantung jenis usaha serta hitung-hitungan dari franchisor yang mencakup aspek feasibility atau kelayakannya suatu usaha franchise. Meski begitu menurut Ketua Asosiasi Franchise Indonesia, besarnya royalti fee yang wajar adalah yang seperi di luar negeri, yakni antara 1%-12%. Kalau lebih dari itu sudah tidak wajar. Dan prosentase tersebut harus diambil dari omset kotor bukan profit, karena bila dihitung dari profit akan menjadi lebih sulit (complicated) karena profit sudah masuk dalam pembukuan sehingga perhitungannya harus memperhatikan banyak aspek .
Keberadaan royalty fee sudah seharusnya dijadikan sumber utama pendapatan franchisor demi kelangsungan usahanya, karena bagaimanapun juga franchisor membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala pengeluaran untuk men-support usahanya seperti : membayar biaya supervisi, biaya monitoring dan biaya on going asistensi secara terus menerus.
Dalam aspek perpajakan terkait bisnis franchise ini, pemajakan dilakukan atas penghasilan yang diterima franchisor dari franchisee berupa royalty fee, sebagaimana telah diulas sebelumnya.
Untuk mengetahui aspek perpajakannya, dapat didasarkan pada Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni pada penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Terakhir Diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Dari Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut, diketahui bahwa atas pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada franchisor , akan dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal ini franchisor) tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya menjadi 30 % ). Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

b. Implementasi terhadap Diferensiasi Definisi atas Royalti dan Jasa Teknik
Menurut Michael Krausse, sebagaimana dikutip Ning Rahayu, kriteria perbedaan antara royalti dari know how dengan imbalan jasa teknik menurut praktik internasional adalah :
“As a general rule, the transfer of know how involves the provision of industrial, commercial or scientific information which remains unrevealed to the public an likewise, the grantor is not required to take part in the application of the formula or to guarantee the result thereof. On the contrary, a typical contract for the provision of technical services, is that in which one of the parties undertakes to use his skills to execute work himself for the other party. In otherwords, existing know-how which is required for performing the work will be for on his own benefit within the framework of the services provided and he will also accept responsibility for it’s result”

Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa dalam praktiknya, royalti diberikan atas transfer know how dari seseorang kepada pihak lain tanpa pihak yang memiliki hak royalti tersebut harus ikut serta dalam penerapan suatu formula tersebut. Dengan demikian, pemegang royalti juga tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang diperoleh atas pengaplikasian formula tersebut. Hal ini berbeda dengan jasa teknik, dimana pemegang hak atas jasa teknik tersebut turut serta dalam pengaplikasian formula yang dimilikinya, yang juga menjadikannya turut bertanggungjawab atas hasil yang didapat dari pengaplikasian formula tersebut.
Dalam hal pemberian informasi, diferensiasi definitif antara royalti dan jasa teknik dapat dilihat dari makalah Adolfo Alchahabian sebagaimana juga dikutip oleh Ning Rahayu yang menyebutkan bahwa royalti dari know how merupakan transfer pengetahuan teknik (technical knowledge) yang berhubungan dengan formula atau rahasia untuk membuat atau memproduksi sesuatu (manufacturing). Sedangkan ruang lingkup pemberian jasa adalah pemberian bantuan teknik melalui penyediaan royalti dari know how yang berhubungan dengan keahlian tertentu dari adviser di lapangan yang dapat diberikan dalam bentuk training (bagi karyawan), nasihat atau penerapan metode produksi tertentu. Selain itu, pemberian jasa juga mungkin dilakukan dengan pembekalan manual tertentu bagi operator di lapangan. Dengan demikian, terdapat hubungan efektif antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang diberikan (imbalan jasa teknik), dan tidak semata didasarkan atas persentase penjualan sebagaimana layaknya royalti.
Dalam praktiknya, banyak kalangan memanfaatkan lemahnya penafsiran fiskus terhadap definisi royalti dan jasa teknik ini untuk memanfaatkan disparitas tarif yang berlaku terhadap keduanya. Di satu sisi pihak wajib pajak hanya memungut royalti, namun pada saat penghitungan pajak berdalih bahwa fee yang didapat adalah hasil dari imbalan jasa teknik (fees for technical services). Perbedaan tarif (efektif) yang berlaku di antara keduanya menjadikan acuan wajib pajak untuk menyamarkan royalti yang didapatnya menjadi imbalan jasa teknik. Padahal secara konseptual sudah jelas perbedaan diantara keduanya, yakni royalti semata hanya dikenakan atas passive income atas digunakannya hak cipta (dan sejenisnya) yang dimiliki wajib pajak, sedangkan imbalan jasa teknik diberikan sekaligus sebagai fee atas pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada kliennya.

c. Penerapan Pajak Penghasilan atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
Dalam UU Pajak Penghasilan terbaru Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008, dalam pasal 23 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 23

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dari kutipan peraturan di atas, jelas bahwa dalam UU PPh terbaru, Pajak Penghasilan yang dikenakan atas royalti adalah sebesar 15% atas jumlah bruto. Sedangkan untuk Imbalan Jasa Teknik hanya dikenakan sebesar 2% dari jumlah bruto. Dengan demikian terdapat dispute tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%.
Perbedaan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik dalam berbagai perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional seperti halnya tax treaty, juga terdapat perbedaan yang signifikan mengenai perlakuan Royalti dan Imbalan Jasa Teknik.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty, pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku. Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yangberlaku adalah tarif sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya terjadi di Indonesia).
Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia. Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).
Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia. Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku. Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan dimasukkan ke dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan Independent Personal Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya beberapa syarat menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di Indonesia yang bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama kehadirannya di Indonesia, sesuai dengan treaty.
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak final.


BAB IV
KESIMPULAN


1. Aspek perpajakan atas transaksi bisnis franchise (waralaba) di Indonesia dapat didasarkan pada Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni pada penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Terakhir Diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Dari Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut, diketahui bahwa atas pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada franchisor , akan dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal ini franchisor) tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya jadi 30 % ). Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

2. Secara konseptual perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik terletak pada karakteristik penghasilan yang dimaksud sendiri. Penghasilan royalti semata hanya berupa passive income atas digunakannya hak yang dimiliki wajib pajak, terkait dengan hak memakai hak cipta atas karya tulis, karya seni, ataupun karya ilmiah, termasuk film-film bioskop, atau pita-pita yang dipakai untuk radio ataupun penyiaran televisi, atas hak paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau proses rahasia, atau untuk memakai atau hak untuk memakai perlengkapan perindustrian, perdagangan atau perlengkapan ilmiah, atau atas informasi yang berkenaan dengan pengalaman di bidang perindustrian, perdagangan, atau di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan imbalan jasa teknik diberikan sekaligus sebagai fee atas pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada kliennya, tidak semata-mata hanya penggunaan hak (cipta, dsb.) yang dimiliki oleh sang pemberi jasa teknik tersebut.

3. Hambatan yang dihadapi oleh implementasi atas pajak penghasilan royalti dan jasa teknik adalah tida adanya batasan yang jelas antara pengertian royalti dan jasa teknik. Adanya perbedaan antara tarif pajak penghasilan atas royalti yang sebesar 15% dari jumlah bruto dengan tarrif jasa teknik yang hanya 2% dari Pajak terdapat dispute tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%. Hambatan dalam pelaksanaan pemajakan bagi fiskus dan pelaksanaan kepatuhan pajak bagi wajib penerima penghasilan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik dalam berbagai perjanjian internasional.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty, pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku. Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yangberlaku adalah tarif sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya terjadi di Indonesia).
Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia. Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).
Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia. Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku. Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan dimasukkan ke dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan Independent Personal Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya beberapa syarat menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di Indonesia yang bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama kehadirannya di Indonesia, sesuai dengan treaty.
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak final.

DAFTAR REFERENSI

Buku :
Kuratko, Donald F. & Richard M. Hodgets, Entrepreneurship: Theory, Process, Practice 6th Ed, USA :Thompson Southwest College Publishing, 2003
Smith, J.M. dan Skousen F.K., Akuntansi Intermediate Jilid I, Penerbit Erlangga : Yogyakarta, 2003.
Gunadi, Pajak dalam Aktifitas Bisnis, Penerbit Abdi Tandur : Jakarta,1997
Kamal Fatchi, International Management, Prentice Hall Inc. : New Jersey, USA, 1996,
Schroeder, Richard G, Myrtle W Clark, Jack M Cathey, Financial Accounting Theory and Analysis, Tax Reading and Cases, 7th edition, John Wiley & Sons Inc., USA : 2001
Philip Kotler, Gary Armstrong, Principles of Marketing, Prentice Hall Inc. : New Jersey, USA, 2003.
Roy Rohatgi, Basic International Taxation Volume 1: Principles, London : BNA International Inc, 2005.
R Mansury, Memahami Ketentuan Perpajakan Berdasarkan Tax Treaties Indonesia, Ind-Hill Co : Jakarta, 1996.

Karya Ilmiah (Tesis) :
Rahayu, Ning, Pajak Penghasilan (PPh) atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik : Dalam Ketentuan Domestik maupun Perjanjian Internasional, Tesis Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, Hal. 44-54

Internet :

http://www.ortax.org
http://www.pajak2000.com
http://www.legal-explanations.com
http://www.majalahtrust.com
http://www.majalahfranchise.com










2 komentar: