Rabu, 18 November 2009

Bentuk-Bentuk Transfer Pricing Terkait Perpajakan & Corresponding Adjustment atas Suatu Related Party Transaction

Bentuk-Bentuk Transfer Pricing Terkait Perpajakan & Corresponding Adjustment atas Suatu Related Party Transaction

Oleh :
Mikail Jam'an, SE, Ak
Naslul Wirda, S.Sos
Raynold Tambunan, SE, Ak
Sunarta Pormando, SE


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Lingkup dari kegiatan bisnis semakin berkembang, dari semula pasar atas barang dan jasa hanya diperoleh dari pasar domestik kemudian meluas ke konsumen di pasar internasional. Demikian halnya dengan proses produksi, semula proses hanya dilakukan di dalam negeri kemudian dengan adanya berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh negara lain, maka pelaku usaha melakukan alokasi atas kegiatan fungsional atau divisional perusahaan berdasarkan pertimbangan cost-benefit yang diperolehnya. Semakin meningkatnya tantangan kompetisi membutuhkan produksi yang efisien sehingga dapat bersaing dalam hal harga produk menjadi salah satu motivasi dasar bagi perusahaan untuk melakukan proses produksi di negara yang dapat memberikan efisiensi dan kemudahan operasional bisnisnya.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbuka bagi investasi asing, melalui penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment-FDI), ikut menjadi salah satu negara pilihan untuk alokasi proses produksi beberapa perusahaan multinasional. Adanya arus masuk penanaman modal asing (PMA) langsung merupakan salah satu roda penggerak dari perekonomian dikarenakan juga ikut menyerap tenaga kerja bagi masyarakat serta sisi lainnya bagi negara, juga diharapkan dapat meningkatkan pemasukan pajak setidaknya dari pajak penghasilan karyawan. Adapun penerimaan negara dari pajak penghasilan dari perusahaan PMA tersebut juga diharapkan dapat meningkat sejalan dengan perolehan penghasilan yang diperoleh perusahaan.
Mengacu kembali kepada berita di tahun 2005 , yaitu adanya pernyataan dari menteri keuangan Republik Indonesia, bapak Jusuf Anwar, bahwa 750 perusahaan PMA menunggak pajak dikarenakan merugi selama 5 tahun berturut-turut. hal tersebut telah menjadi topik di kalangan DPR, bahwa ada indikasi bahwa perusahaan PMA tersebut melakukan praktik-praktik penghindaran pajak secara tidak wajar dan ilegal melalui skema penghindaran pajak salah satunya transfer pricing yang ilegal.
Transfer pricing dapat digolongkan kepada sesuatu yang ilegal apabila nilai dari transfer pricing adalah tidak wajar (arm length’s transaction) artinya atas barang dan jasa yang dipertukarkan dinilai tidak sesuai dengan harga yang wajar pada umumnya. Transfer pricing sendiri hanya timbul sebagai akibat dari transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa, untuk itu diperlukan metode-metode yang dapat diandalkan bagi fiskus untuk menentukan nilai yang wajar dari transfer pricing. Sebaliknya bagi wajib pajak perlu upaya upaya tertentu agar terhindar dari sengketa pajak akibat transfer pricing yang tidak tepat.
Transfer pricing yang dilakukan secara ilegal, menimbulkan adanya ketidakseimbangan dalam besar hak pemajakan antara negara. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan adanya pemindahan penghasilan kepada negara lain yang bertarif pajak lebih rendah sedangkan proses dalam memperoleh penghasilan tersebut lebih besar bersumber dari dalam negeri.
Transfer pricing dapat digolongkan kepada sesuatu yang ilegal apabila nilai dari transfer pricing adalah tidak wajar (arm length’s transaction) artinya atas barang dan jasa yang dipertukarkan dinilai tidak sesuai dengan harga yang wajar pada umumnya. Transfer pricing sendiri hanya timbul sebagai akibat dari transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa, untuk itu diperlukan metode-metode yang dapat diandalkan bagi fiskus untuk menentukan nilai yang wajar dari transfer pricing.
Transfer pricing umumnya dilakukan dalam hal transaksi untuk memberikan imbalan atas barang (bahan baku & barang semi jadi) yaitu melalui supply chain management. Supply chain management sendiri berkembang seiring dengan peningkatan jaringan global perusahaan multinasional dimana perusahaan-perusahaan melakukan pengelolaan khusus atas fungsi-fungsi dari masing-masing segmen atau anak perusahaannya sehingga ada spesialisasi fungsi antar masing-masing perusahaan. Melalui spesialisasi fungsi-fungsi tersebut, terjadi transfer bahan baku, barang semi jadi serta barang jadi antara masing-masing segmen. Penentuan atas transfer pricing untuk barang-barang tersebut memerlukan ketetapan dengan dasar acuan tertentu agar terjadi sinkronisasi antara phak wajib pajak dan fiskus sehingga apa yang dilakukan oleh wajib pajak tidak terindikasi sebagai praktik transfer pricing yang ilegal untuk perpajakan selain itu bagi fiskus, bermanfaat untuk dapat memperoleh adanya pedoman untuk menentukan apakah suatu transfer pricing telah dilakukan secara wajar oleh wajib pajak.
Selain transfer pricing yang dilakukan dalam bentuk transaksi atas barang, transfer pricing juga diaplikasikan sebagai imbalan atas jasa dilakukan dalam lingkup satu grup perusahaan (intra group services). Imbalan atas jasa intra grup ini menjadi isu perpajakan bagi fiskus melalui penilaian atas jasa-jasa yang dilakukan antara satu grup perusahaan harus dilihat sebagai jasa yag memang dilakukan secara wajar atau tidak, selain itu bagi wajib pajak didalam melakukan kegiatan pemberian jasa antar perusahaan dalam satu grup harus mengikuti ketentuan yang berlaku sehingga dapat terhindar dari konfilik penentuan kewajaran dalam pemberian jasa.

1.2 Permasalahan Pokok
Dalam makalah penelitian ini, penyusun beberapa merumuskan permasalahan pokok, antara lain adalah :
A. Bagaimana keterkaitan Hubungan Istimewa dengan corresponding adjustment?
B. Bagaimanakah praktik Intra Group Services Transfer Pricing di lapangan?
C. Bagaimanakah keterkaitan Struktur Supply Chain Management dengan praktik Transfer Pricing, khususnya di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah :
A. Menganalisa keterkaitan hubungan istimewa dengan corresponding adjustment.
B. Menganalisa praktik Intra Group Services Transfer Pricing di lapangan
C. Menganalisa keterkaitan Struktur Supply Chain Management dengan praktik Transfer Pricing, khususnya di Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Transfer Pricing
Definisi dari transfer pricing menurut Hongren yaitu :
“the amount charged by one segment of an organization for a product or service that is supplies to another segment of the same organization.”

Atau dapat diartikan sebagai berikut : harga yang dikenakan oleh satu segmen organisasi atas barang atau jasa yang disalurkan kepada segmen lainnya didalam organisasi yang sama.

Brian J. Arnold & Michael J. McIntyre mendefinisikan Transfer Pricing sebagai berikut :
“transfer pricing is a price set by a tax payer when selling to, buying from, or sharing resources with a related person”

Atau dapat diartikan transfer pricing adalah harga yang ditentukan oleh wajib pajak ketika menjual, membeli atau berbagi sumber daya dengan pihak yang berkaitan.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya, transfer pricing adalah suatu metode penentuan harga antar perusahaan dalam satu grup yang sama.

2.2 Skema Transfer Pricing Terkait dengan Perpajakan
Transfer pricing dapat digunakan untuk melakukan pemindahan atas beban pajak dari satu negara ke negara lainnya yang mengenakan tarif pajak lebih rendah, yaitu suatu perusahaan di negara yang bertarif pajak lebih tinggi membebankan biaya-biaya atas transaksi diantara pihak yang terkait (antar perusahaan asosiasi). Mekanismenya yaitu, perusahaan di negara lain melakukan transaksi berupa pemberian barang (umumnya bahan baku) untuk diolah kembali, kemudian contoh yang lainnya adalah pemberian jasa, dapat berupa jasa teknik atau jasa konsultasi. Transaksi-transaksi tersebut merupakan beban yang dapat mengurangi penghasilan bruto sehingga apabila nilai dan imbalan tersebut dinaikkan maka penghasilan yang terkena pajak di dalam negeri akan lebih rendah dari yang seharusnya.
Brian J. Arnold & Michael J. McIntyre, mengemukakan hal berikut ini :
“ the tax authorities should be given the power to adjust transfer prices to prevent tax payers from shifting income to related persons organized in tax havens or in countries where they enjoy some special tax benefit. Example of tax benefits include a relative low tax rate, a tax holiday or other tax inentive, and tax deductible loss”

Dari hal diatas maka pihak otoritas pajak dalam hal ini fiskus, diberikan suatu kewenangan untuk menentukan atau menganalisa harga yang wajar dari nilai transaksi antara perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.

2.3 Supply Chain & Intra Group Services Transfer Pricing
Transfer Pricing secara garis besar dilakukan atas empat jenis transaksi lintas batas negara yaitu sebagai berikut :
• Transfer atas tangible property
Transaksi ini termasuk ke dalam supply chain management dikarenakan melibatkan arus bahan baku, persediaan peralatan dan perlengkapan untuk kelangsungan kegiatan produksi atau operasional perusahaan. Contoh dari transaksi ini yaitu, jual beli atas persediaan dan aset fisik lainnya, transfer atas mesin, sewa atas properti (sewa guna usaha).
• Transfer atas Intangible property right
Transaksi ini berlaku atas pemberian hak melalui penjualan atau hadiah atas hak atas kekayaan intelektual, perizinan untuk memakai HAKI dengan imbalan royalti atau tanpa imbalan royalti, atau melalui skema perjanjian pembagian biaya (cost contribution, cost sharing arrangement)
• Pemberian Jasa
Transaksi pemberian jasa umumnya dilakukan atas jasa teknik dengan atau tanpa adanya transfer of an intangible property right, bantuan jasa manajemen seperti bantuan pemasaran, akuntansi, & pelatihan. Pembagian atas alokasi overhead cost kantor pusat, serta aktivitas penelitian dan pengembangan.

• Pemberian pendanaan
Transaksi pendanaan dapat berbentuk pinjaman dari pihak yang terafiliasi (interest rate, amount, guarantees, or collaterals on related party debt), pendanaan modal kerja jangka pendek, jaminan atas pinjaman induk perusahaan.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Keterkaitan Hubungan Istimewa dengan corresponding adjustment
Terkait dengan adanya ilegal transfer prcing yang dapat merugikan penerimaan suatu negara, maka negara mempunyai hak untuk melakukan penyesuaian atas transaksi yang dilakukan terkait transfer pricing. Otoritas pajak suatu negara dapat melakukan koreksi atas nilai transaksi yang terjadi jika transfer pricing tersebut tidak sesuai dengan harga pasar wajar hanya jika terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang melakukan transfer pricing. Oleh karena itu pengertian hubungan istimewa dalam konteks transfer pricing menjadi sangat krusial. Suatu negara dapat melakukan primary adjustment yaitu koreksi secara sepihak oleh negara tersebut sedangkan apabila hanya dilakukan secara sepihak maka akan timbul pemajakan berganda untuk itu maka didalam persetujuan penghindaran pajak berganda (mengacu kepada OECD MC Pasal 9), diberlakukanlah mekanisme corresponding adjustment yaitu koreksi yang dilakukan oleh negara lainnya atas transaksi tersebut, sehingga wajib pajak tidak terbebani oleh pemajakan berganda.
Menilik krusialnya hubungan istimewa dalam hal diberlakukannya corresponding adjustment, perlu diketahui apakah yang dapat digolongkan kedalam hubungan istimewa itu sendiri. Dalam UU No. 36 tahun 2008 (Perubahan Keempat Atas UU no 1983 tentang Pajak Penghasilan) terdapat batasan hubungan istimewa dalam pasal 18 ayat (4). Sedangkan dalam P3B OECD Model, dinyatakan dalam pasal 9 sebagai berikut:
1. Where:
(a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or
(b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State,
and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.
2. Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State and taxes accordingly profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged to tax in that State and the profits so included are profits which have accrued to the enterprise of the first-mentioned State if the conditions made between the two enterprise had been those which would have been made between independent enterprise, then that other State may make an appropriate adjustment to the amount of the tax other charged therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the other provision of this Agreement and the competent of the Contracting State shall if necessary consult each other.

Dari definisi di atas terdapat kesamaan antara UU PPh No 36 Tahun 2008 dan OECD MC yaitu adanya kriteria adanya penguasaan (dalam UU PPh) atau Partisipasi (dalam OECD TP MC) secara langsung maupun tidak langsung, Namun baik OECD Model, OECD Transfer Pricing Guidelines (OECD TP Guidelines) dan UU PPh tidak memberikan definisi yang jelas mengenai pengendalian manajemen secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam suatu seminar International Fiscal Association (IFA), David Grecian mengusulkan bahwa yang dimaksud dengan pengendalian adalah:
A. mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang terkait dengan kebijakan keuangan dan operasi dari suatu perusahaan,
B. mempunyai pengaruh untuk menentukan besarnya harga yang ditetapkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan berpartisipasi dalam suatu manajemen (participation in management) didalam peradalah ikut terlibat dalam pembuatan keputusan atas kegiatan operasi suatu perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan manajemen disini adalah bisa level direktur maupun level manajer.
Dalam ayat (2) pasal 9 OECD Model yang telah dijabarkan di atas, mengatur tentang mekanisme penyesuaian kembali (corresponding adjustment) jika terdapat primary adjustment yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain yang akan berdampak pada wajib pajak di negara lainnya. Hal ini untuk mencegah terjadinya pemajakan berganda, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk dapat melakukan corresponding adjustment sangat lama bahkan untuk negara maju. Hal ini bisa diakibatkan buruknya sistem informasi, birokrasi dan sistem exchange of information di antara kedua negara yang berkepentingan.

3.1.1 Metode Penentuan Nilai Wajar dalam Mekanisme Adjustment
Penyesuaian atas nilai transaksi transfer pricing, menurut OECD TP Guidelines dapat dilakukan oleh beberapa metode untuk menentukan nilai wajar atas transfer pricing. Kebanyakan negara-negara mengikuti metode yang ditetapkan di dalam OECD TP Guideliness meskipun terdapat metode penetapan harga pasar wajar yang lainnya. Strategi untuk mengikuti metode sesuai OECD TP Guidelines itu akan membawa risiko perpajakan yang lebih besar daripada solusi yang dibuat khusus untuk masing-masing negara.
Beberapa negara menerima berbagai metode penghitungan transfer pricing, seperti misalnya Jepang, yang mengharuskan 3 metode tradisional digunakan terlebih dahulu sebelum menggunakan metode lainnya, atau seperti USA yang dapat menerima semua metode yang paling sesuai tanpa terkecuali. Hal ini menuntut perhatian yang luar biasa dari pelaku dan otoritas pajak terkait corresponding adjustment. Selain itu mungkin saja terdapat negara yang mengaplikasikan prinsip harga pasar wajar dengan cara yang berbeda. Seperti Brazil yang tidak menerapkan prinsip harga pasar wajar meskipun mempunyai peraturan transfer pricing. Indonesia dalam UU PPh terbaru mengakui metode penentuan harga pasar wajar menurut OECD.
Berikut adalah tiga metode yang digunakan dalam menghitung harga pasar wajar :
a. Metode Tradisional
1) Comparable Uncontrolled Price (CUP) membandingkan harga pada suatu transaksi yang terkontrol dengan transaksi lainnya yang sejenis yang tidak terkontrol. Cara ini paling mudah secara konseptual, harga pasar wajar cukup ditentukan oleh dua perusahaan yang tidak terkait. Namun fakta bahwa setiap perubahan kecil dalam suatu transaksi (misalnya periode penagihan, kuantum dan merk) berpengaruh signifikan terhadap harga menjadikan sangat sulit untuk menemukan transaksi sejenis yang dapat diperbandingkan. Terdapat dua metode dalam CUP yaitu internal comparable dan external comparable. Perbedaannya sangat jelas, external comparable, artinya pengujian harga dilakukan pada perusahaan lain sedangkan internal comparable, pengujian dilakukan terhadap salah satu pihak yang melakukan transfer pricing.
2) Cost Plus (CP) biasanya digunakan untuk barang jadi, ditentukan dengan menambah markup yang sesuai pada biaya yang timbul akibat proses produksi sebesar markup yang sesuai dengan keuntungan perusahaan lain yang diuji oleh pihak-pihak yang terkait. Metode umunya diterima oleh otoritas Bea Cukai karena memberikan indikasi bahwa harga transfer mendekati nilai cost dari item yang diperdagangkan. Namun pendekatan biaya (cost of production) tidaklah setransparan seperti yang terlihat, karena perusahaan dapat dengan mudah mengubah akun biayanya untuk merubah besaran harga transfer. Perusahaan yang mengadopsi metode ini harus memilih satu diantara pendekatan berikut: pendekatan Biaya Aktual, pendekatan biaya standar, pendekatan biaya variabel dan pendekatan biaya marjinal.
3) Resale Price (RP) penentuan harga pasar wajar didasarkan atas produk yang dibeli dari perusahaan afiliasi lalu dijual kembali kepada perusahaan independen. Lalu, harga pasar wajar dari metode ini dihitung dengan cara mengurangkan harga jual kembali tersebut dengan suatu margin laba kotor tertentu, dimana margin laba kotor itu diambil dari margin laba kotor perusahaan sejenis yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.

b. Metode Non Tradisional
1) Profit Split (PS) dan turunannya termasuk metode Comparative dan Residual Profit Split digunakan jika perusahaan yang terlibat dalam transaksi yang diperiksa terlalu terpadu sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi secara terpisah, sehingga keuntungan akhir dari masing-masing pihak dibagi berdasarkan tingkat kontribusi dari setiap peserta dalam proyek itu. Tingkat kontribusi itu sendiri ditentukan oleh beberapa faktor terukur seperti kompensasi karyawan, biaya administrasi dll dari masing-masing pihak.
2) Transactional Net Margin Method (TNMM), merupakan metode yang berfokus pada laba operasi wajar yang diperoleh salah satu entitas (pihak yang di uji) dalam transaksi. TNMM menegaskan bahwa laba operasi relatif (relatif terhadap penjualan, HPP, atau aktiva untuk memungkinkan komparasi antara perusahaan atau transaksi yang berbeda) dapat secara lebih kuat mengukur harga pasar wajar jika metode pembandingan seperti pada metode tradisional tidak dapat dilakukan. Di USA, TNMM biasa dinamakan metode Comparable Profits Method (CPM) dan selain metode tradisional, merupakan metode penentuan harga pasar wajar yang paling banyak digunakan.


c. Metode Lainnya
OECD Guidelines tidak memperkenankan metode lainnya dalam menentukan harga pasar wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang sesungguhnya. Termasuk dalam metode lainnya ini adalah metode global split method yang merupakan turunan dari profit split di atas, dan juga formulary apportionment.
Yang perlu diperhatikan terkait dengan penerapan metode penentuan harga pasar wajar menurut OECD Guidelines adalah:
• Tidak ada satu metode yang tepat untuk dipergunakan dalam setiap situasi yang ada Wajib pajak tidak dipersyaratkan untuk menentukan harga pasar wajar melalui pendekatan berbegai metode yang ada. Hal ini berbeda dengan ketentuan TP di USA, di mana WP diharuskan menentukan harga pasar wajar melalui berbegai metode yang ada, setelah itu WP diminta menentukan metode mana yang dipakai sebagai best method rule.
• Metode tradisional baik CUP, Cost Plus maupun Resale Price lebih diutamakan daripada metode non tradisional.

3.2 Penentuan Intra Group Services Transfer Pricing
Menurut OECD TP Guideliness chapter VII bahwa yang dapat digolongkan kedalam transaksi yang sesuai dengan arm length’s principle adalah sebagai berikut:
a. Jasa yang dilakukan oleh perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa bersedia untuk dibayarkan oleh perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam situasi yang sama (comparable circumtances).
b. Jasa tidak dilakukan sendiri oleh perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa tersebut.

Selain ketentuan tersebut, OECD TP Guideliness juga menekankan kebutuhan atas analisa yang lebih mendalam untuk hal-hal berikut :
3.2.1 Shareholder activites
Diperlukan analisa atas intra group services yang dilakukan antara anggota perusahaan afiliasi dalam kondisi tidak ada kebutuhan atas jasa tersebut atau tidak ada kesediaan untuk membayar apabila jasa diberikan oleh perusahaan yang tidak mempuyai hubungan istimewa. Hal tersebut umumnya dilakukan untuk melindungi kepentingan para pemegang saham atas perusahaan afiliasi. OECD TP Guiliness menyatakan tidak memperbolehkan biaya ini untuk diakui sebagai beban oleh penerima jasa. Adapun contoh dari shareholder’s activities menurut OECD TP Guideliness adalah sebagai berikut:
• aktivitas yang berhubungan dengan juridical structure of parent company, seperti beban meeting yang dilakukan oleh pemegang saham, penerbitan saham parent company, dan beban supervisory board.
• beban yang dikeluarkan untuk keperluan pelaporan keuangan parent company termasuk laporan konsolidasi.
• Beban hutang untuk meningkatkan kepemilikan saham parent company.
3.2.2 Duplication services
Pelaksanaan jasa yang sama berulangkali tidak diperbolehkan menurut OECD TP Guideliness para.7.11, namun terdapat pengecualian di dalam situasi berikut ini :
a. Jika dilakukan hanya untuk sementara waktu, contohnya perusahaan multinasional melakukan reorganisasi untuk mensentralisasikan fungsi-fungsi manajemen.
b. Jika dilakukan untuk meminimalkan kesalahan pengambilan keputusan, dengan memberikan opini kedua atas suatu masalah yang sama.
3.2.3 On Call Services
On Call Services, dapat dimaksudkan sebagai jasa yang dapat dilakukan kapan saja tergantung dari kebutuhan pihak penerima jasa. “on call services” dapat diterima jika pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa bersedia untuk membayar “standby charge” untuk memastikan ketersediaan jasa terebut saat dibutuhkan. Contoh yang dapat diterima tersebut adalah untuk pembayaran retainer fee oleh perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimwwa kepada firma hukum untuk memberikan konsultasi hukum dan bantuan hukum untuk sengketa di pengadilan .


3.2.4 Substance over form principle
Pembuktian adanya intra group services telah dilakukan adalah adanya pembayaran dari penerima jasa ke pemberi jasa yang mempunyai hubungan istimewa, melalui keberadaan bukti pembayaran atau perjanjian kerja antara kedua belah pihak., namun menurut Darussalam & Denny Septriadi(2008), hal tersebut belum cukup untuk melihat adanya intra group service, sebaliknya perlu dilakukan analisa ke substansi dari transaksi tersebut.
Intra Group Services, dapat dijadikan sebagai salah satu cara bagi perusahaan multinasional dalam melakukan praktik transfer pricing penghindaran pajak, untuk itu diperlukan upaya-upaya tertentu dalam menentukan besarnya nilai yang wajar dalam imbalan atas jasa yang dilakukan antar perusahaan terafiliasi.

3.2.5 Metode yang Digunakan Wajib Pajak untuk Penentuan Imbal Jasa
Ketentuan prinsip harga pasar wajar dari transfer pricing dalam intra group services menurut OECD TP Guideliness chapter VII masih perlu dilengkapi oleh metode bagi fiskus untuk dapat menghitung nilai wajar. Pendekatan dalam menghitung nilai wajar selain yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya dapat juga dilihat dari metode yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk menentukan transfer pricing dari suatu intra group services yaitu sebagai berikut :
a. Direct charge method
Metode ini dilakukan dengan cara identifikasi actual charge atas transaksi yang terjadi saat perusahaan multinasional menyelenggarakan jasa. Metode direct charge method umumnya dilakukan oleh perusahaan multinasional dalam hal jika jasa tersebut juga dilakukan kepada pihak lain yang independen. Untuk pihak ketiga yang sifatnya jarang dilakukan maka metode ini sulit untuk dilakukan.
b. Indirect charge method
Metode ini biasanya diterapkan oleh perusahaan multinasional dalam hal jika perusahaan tersebut telah mempunyai formula tersendiri dalam hal jasa tertentu yang disediakannya (jasa yang diberikan oleh induk perusahaan atau group services center). Dalam hal ini model yang digunakan oleh perusahaan multinasional adalah yang mudah diidentifikasi tetapi tidak berdasarkan oleh direct charge method atau model lain yang tidak mudah mudah diidentifikasi dan juga harga menyatu dengan jasa atau barang lain yang ditransfer atau dialokasikan di antara anggota group berdasarkan basis tertentu atau tidak ada pengalokasian sama sekali kepada anggota group. Model yang termasuk dalam metode indirect charge method adalah cost allocation dan apportionment method yang mewajibkan adanya estimasi sebagai dasar perhitungan arms length charge. Metode Indirect charge tidak sesuai untuk diterapkan atas jasa dimana perusahaan juga melakukannya kepada pihak independen.

3.3 Skema Transfer Pricing dalam Supply Chain Management
Dalam perspektif pajak, supply chain management pada dasarnya merupakan alokasi fungsi, aset, dan risiko dari perusahaan multinasional dengan tujuan meminimalisir beban pajak terutang. Struktur-struktur supply chain management telah banyak digunakan oleh perusahaan multinasional tersebut dengan alasan untuk menurunkan duplikasi biaya melalui sentralisasi dengan cara mendirikan regional supply function, serta sentralisasi kepemilikan atas intellectual property. Aktivitas bisnis melalui supply chain management inilah yang kemudian meningkatkan praktik transfer pricing, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan dasar pengenaan pajak (tax base) pada negara-negara yang bisa dikategorikan sebagai high-tax-jurisdiction atau bertarif pajak tinggi.
Pada umumnya, di berbagai negara di dunia, menetapkan kompensasi minimum dengan menggunakan metode cost plus atas contract manufacturer sebagai ketentuan anti penghindaran pajak atas transfer pricing.
Di Indonesia sendiri, sampai dengan saat ini belum memiliki aturan baku, baik mengenai transfer pricing dalam bentuk undang-undang, kecuali hanya dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran Dirjen Pajak no.SE 01/PJ.7/1993 yang dijabarkan dalam SE No. 04/PJ.7/1993 tentang petunjuk penanganan kasus-kasus Transfer Pricing.
Sebagaimana negara-negara yang dikategorikan sebagai high-tax-jurisdiction, di Indonesia terdapat kecenderungan degradasi fungsi yang melanda perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, terutama pada perusahaan yang berstatus PMA dan masuk ke dalam jaringan supply chain management berskala global. Dalam beberapa kasus terakhir, memperlihatkan bahwa banyak perusahaan di Indonesia yang brand dan trademarknya mengakar di Indonesia kemudian diambilalih oleh perusahaan multinasional. Selanjutnya, valuable intangible asset yang dimilikinya dialihkan kepada perusahaan afiliasi yang berkedudukan di negara lain. Perusahaan yang beroperasi di Indonesia sendiri kemudian diciutkan menjadi hanya berperan sebagai sales office ataupun contract manufacturer bagi perusahaan induknya.
Kasus lain yang juga terjadi di Indonesia adalah perusahaan yang berdiri dan besar di Indonesia tanpa melalui foreign investment, kemudian mendirikan Special Purpose Entity (SPE-conduit company) di negara-negara berkategori tax haven untuk kemudian merelokasi fungsi, resiko, dan valuable intangible property ke SPE tersebut. Kemudian perusahaan melakukan income shifting dengan berbagai cara, antara lain : royalty fee, management and assistance fee, atau bentuk-bentuk transfer pricing lainnya untuk mengurangi taxable income di Indonesia.
Dalam kasus contract manufacturer yang terkait dengan supply chain management, di Indonesia telah diterbitkan KMK No. 543/KMK.03/2002. Namun jasa yang diatur didalam KMK ini hanya meliputi jasa manufaktur (maklon) dalam bidang produksi mainan anak-anak, dan tidak mencakup keseluruhan industri manufaktur. Selain itu, di dalam KMK ini terdapat beberapa kelemahan antara lain penyederhanaan yang tidak tepat terhadap industri manufaktur. Industri manufaktur di Indonesia tidak hanya terkait dengan industri mainan anak-anak saja. KMK ini dengan kata lain bertentangan dengan prinsip non-discrimination rules karena hanya menyorot satu bidang saja dalam lingkup besar industri manufaktur. Selayaknya, penentuan tentang suatu perusahaan memenuhi sebagai contract manufacturer haruslah ditetapkan setelah melewati analisa fungsi yang dijalankannya dalam model global supply chain management. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi di kemudian hari perusahaan yang menyamarkan operasionalnya sebagai contract manufacturer, untuk kemudian memanfaatkan fasilitas tertentu dalam regulasi (seperti tax relief untuk royalti dalam treaty) yang seharusnya tidak berhak diterapkan kepadanya.





BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hubungan Istimewa yang melingkupi transaksi antara dua entitas yang berbeda memiliki karakteristik unik yang membedakannya dengan transaksi dengan pihak lain di luar transaksi ini, terlebih dalam transaksi internasional yang melibatkan entitas berbeda dari negara yang juga berbeda. Oleh karenanya kemudian diperlukan mekanisme penyesuaian kembali (corresponding adjustment) jika terdapat primary adjustment yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain yang akan berdampak pada wajib pajak di negara lainnya. Hal ini untuk mencegah terjadinya pemajakan berganda, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk dapat melakukan corresponding adjustment sangat lama bahkan untuk negara maju. Hal ini bisa diakibatkan buruknya sistem informasi, birokrasi dan sistem exchange of information di antara kedua negara yang berkepentingan. Meskipun banyak sekali metode penetapan harga pasar wajar, namun kenyataannya banyak negara mendasarkan pada OECD Guidelines, meskipun strategi itu akan membawa risiko perpajakan yang lebih besar daripada solusi yang dibuat khusus untuk masing-masing negara.
Transaksi atas internal group services, adalah hal yang biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional, bagi perusahaan multinasional OECD TP Guideliness Chapter VII, penting untuk diikuti agar perusahaan mempraktikkan transfer pricing melalui intra group services dapat menjadikan biaya-biaya tersebut diakui oleh pihak fiskus dan menghindari sengketa pajak transfer pricing atas intra group yang dipermasalahkan oleh fiskus.
Struktur-struktur supply chain management telah banyak digunakan oleh berbagai perusahaan multinasional dengan alasan untuk menurunkan duplikasi biaya melalui sentralisasi dengan cara mendirikan regional supply function, serta sentralisasi kepemilikan atas intellectual property. Aktivitas bisnis melalui supply chain management inilah yang kemudian meningkatkan praktik transfer pricing, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan dasar pengenaan pajak (tax base) pada negara-negara yang bisa dikategorikan sebagai high-tax-jurisdiction atau bertarif pajak tinggi. Pada umumnya, di berbagai negara di dunia, menetapkan kompensasi minimum dengan menggunakan metode cost plus atascontract manufacturer sebagai ketentuan anti penghindaran pajak atas transfer pricing. Di Indonesia sendiri, sampai dengan saat ini belum memiliki aturan baku, baik mengenai transfer pricing dalam bentuk undang-undang, kecuali hanya dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran Dirjen Pajak no.SE 01/PJ.7/1993 yang dijabarkan dalam SE 04/PJ.7/1993 tentang petunjuk penanganan kasus-kasus Transfer Pricing.

4.2 Saran
Dalam menghadapi skema transfer pricing, terdapat dua alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh otoritas pajak Indonesia, yakni :
1. Mengembangkan transfer pricing rules yang rinci dan komprehensif. Caranya ialah bisa dengan mengadopsi secara selektif ketentuan yang terdapat dalam OECD Guidelines atau studi banding tentang ketentuan transfer pricing di negara-negara berkembang yang telah menerapkannya, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan sebagainya.
2. Mengenakan norma penghasilan (deemed profit) untuk bentuk-bentuk usaha tertentu yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam struktur supply chain management.
Dalam kondisi saat ini, langkah yang paling tepat yang bisa dilakukan dan diadopsi di Indonesia kemungkinan adalah langkah kedua, dimana penerapan deemed profit lebih mudah digunakan (simplicity) dan lebih memberikan kepastian hukum memadai bagi Wajib Pajak (law certainty). Bagaimanapun, skema transfer pricing melalui supply chain management merupakan fenomena global yang tidak dapat dihindari. Menolak atau bahkan membiarkannya bukanlah merupakan langkah bijak, karena tidak sejalan dengan arus globalisasi dan pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional.

DAFTAR ISTILAH

Arm’s Length Price : Harga wajar yang diberlakukan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa (non-related party transaction)

Conduit Company : Biasa disebut juga sebagai special purpose entity, perusahaan yang didirikan oleh perusahaan induknya untuk tujuan tertentu yang bersifat khusus

Exchange of Information : Kegiatan pertukaran informasi yang dilakukan antara dua otoritas perpajakan negara yang berbeda dalam hal pengenaan pajak atas transaksi cross border yang terjadi diantara dua negara tersebut.

Intra Group Service : Proses transfer jasa, dari perusahaan induk kepada anak perusahaannya, maupun antara masing-masing anak perusahaan yang tergabung dalam satu grup usaha. Intra group service ini bisa berlangsung dalam cakupan lokal satu negara, ataupun antar negara.

Manufacturing Company : Perusahaan manufaktur yang tugasnya merakit, atau membuat suatu produk sesuai dengan spesifikasi yang telah diberikan lewat order kliennya terlebih dahulu.

PMA (Penanaman Modal Asing) : Perusahaan yang didirikan dan bertempatkedudukan di Indonesia, namun kepemilikan sahamnya dikuasai oleh perusahaan yang merupakan entitas luar negeri (asing).

Supply Chain Management : Alokasi fungsi, aset, dan risiko dari sebuah perusahaan/organisasi multinasional dengan tujuan tertentu.

Tax Haven Countries : Negara-negara dengan ketentuan dan tarif pajak yang longgar dibandingkan kebanyakan negara lainnya.

Transfer Pricing : Transaksi baik berupa barang ataupun jasa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, atau pihak-pihak dalam satu unit usaha tertentu, dengan dasar perhitungan harga tertentu, yang biasanya berbeda dengan transaksi pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Hongren, C.T, W.O Stratton & G.L Sundem, ”Interoduction to Management Accounting”, Prentice Hall International Inc, USA, 1996
Arnold, Brian J., Michael J. Mcintyre, “International Tax Primer”, Kluwer Law International Inc, 2002
Darussalam, Denny Septriadi, “Konsep dan Aplikasi Cross-Border Transfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan”, Danny Darussalam Tax Centre : Jakarta, 2008,
John L. Hutagaol, Darussalam, Denny Septriadi, , “Kapita Selekta Perpajakan”, Penerbit Salemba 4 : Jakarta, 2007

Artikel :
M. Ali Shodiqin, “Transfer Pricing : Special Considerations For Intra Groups Services” Inside Tax, April 2008

Peraturan dan Regulasi :
  • UU No 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
  • OECD Model of Tax Treaty

Internet :
http://www.ortax.org
http://www.danny-darussalamtaxcentre.com
http://www.internationaltaxreview.com

Ikhtisar atas UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Ikhtisar atas UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
(Summary of Law No.36 / 2008 the fourth amendment to the Law No. 7 / 1983 regarding to Income Tax)

Art. 1 Tahun Pajak
Art. 2 Subjek Pajak
  • (1) SP (1a) Perlakuan Pajak BUT (3) SPDN, SPLN (4) BUT
  • (5) Penentu Tempat tinggal OP/Badan
Art. 2A Dimulainya Kewajiban Pajak subjektif OP / Badan
Art. 3 Yang tidak termasuk subjek pajak dalam Art. 2
Art. 4 Objek Pajak, Jenis-Jenis Objek pajak, Penghasilan yang dikenakan pajak final, Yang
dikecualikan dari objek pajak
Art. 5 Objek pajak BUT , Biaya kantor pusat yang diperbolehkan & tidak diperbolehkan untuk
dibebankan.
Art. 6 Beban Pengurang Penghasilan bruto WPDN & BUT termasuk kompensasi kerugian.
Art. 7 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) per tahun
Art. 8 Penggabungan penghasilan / kerugian istri kepada suami, syarat pemisahan pengenaan
pajak secara terpisah, Penghasila anak yang belum dewasa.
Art. 9 Beban yang tidak boleh mengurangi penghasilan bruto bagi WPDN & BUT
Art. 10 Harga Perolehan harta, Nilai perolehan berdasarkan harga pasar, perolehan atau
pengalihan sehubungan dengan likuidasi, penggabungan dsb. Penilaian persediaan dan
pemakaiannya (Rata-rata / FIFO)
Art. 11 Penyusutan harta berwujud
Art. 11A Amortisasi harta tidak berwujud
Art. 14 Norma perhitungan penghasilan neto, Kewajiban menyelenggarakan pencatatan.
Art. 15 Norma perhitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari wajib pajak
tertentu.
Art. 16 Perhitungan PKP WPDN dengan mengurangi biaya pada penghasilan, perhitungan pkp
bagi wajib pajak OP & Badan (dengan norma penghitungan), Perhitungan bagi PKP
WPLN yang menggunakan BUT dengan mengurangkan penghasilan dengan biaya, PKP
bagi WPDN dalam pasal 2A.
Art. 17 Tarif Pajak bagi WP OP DN, WP Badan DN & BUT. Tarif pada tahun 2010., tariff bagi
perusahaan yang diperdagangkan di bursa efek.

Art. 18 Kewenangan menkeu untuk mengeluarkan perbandingan antara besarnya utang dan modal untuk perhitungan pajak. Kewenangan Menkeu untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh WPDN atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain yang diperdagangkan di Bursa Efek. Kewenangan DJP untuk menentukan penhgasilan dan pengurangan biaya, serta rasio utang dan modal dalam hal adanya hubungan istimewa (dengan menggunakan metode2 penentuan harga wajar(metode perbandingan biaya antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya), kewenangan DJP untuk melakukan perjanjian dengan WP dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lainnya untuk penentuan harga transaksi hub. Istimewa, special purpose company (pembelian saham, penjualan atau pengalihan saham perusahaan), pengaturan adanya hubungan istimewa.
Art. 19 Kewenangan Menkeu dalam menetapkan peraturan ttg penilaian kembali aktiva dan
faktor penyesuaian.
Art. 20 Mengenai pelunasan pajak melalui pemotongan oleh pihak lain, pembayaran pajak
sendiri.
Art. 21 Penghasilan WP OP DN (gaji, upah, honorarium,tunjangan, uang pensiun, imbal jasa atas pekerjaan bebas, pelaksanaan kegiatan) dengan tarif pasal 17(1), Badan2 yang tidak mempunyai kewajiban memotong, menyetor dan melaporkan pajak. Perhitungan pajak atas penghasilan pegawai tetap dan pensiun dengan biaya jabatan, iuran pensiun dan PTKP. Perhitungan penghasilan pegawai harian, mingguan dan tidak tetap
Art. 22 Pemungutan pajak oleh bendahara pemerintah, badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan impor, pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Art. 23 Pemotongan pajak penghasilan atas dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus, sewa dan penghasilan lain dari penggunaan harta selain tanah dan bangunan, imbal jasa teknik, manajemen, konstruksi , dan jasa selain yang telah dipotong dalam pasal 21. tidak dilakukannya pemotongan pajak oleh penghasilan tertentu.
Art. 24 Kredit atas pajak yang dibayarkan di luar negeri
Art. 25 Angsuran Pajak & kewajiban membayar pajak bagi WP DN yang tidak punya NPWP yang pergi ke LN
Art. 26 Kewajiban memotong pajak oleh SP DN atas penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN selain BUT di Indonesia. Kriteria negara domisili WPLN penerima perusahaan harus Beneficiary Owner. Pajak atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepaa perusahaan asuransi luar negeri.
Art. 28 Kredit pajak yang dapat mengurangi pajak terutang, denda & sangsi bukan kredit pajak
Art. 29 Pajak kurang bayar

Meninjau Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Meninjau Sistem Pemungutan Pajak pada Perpajakan Indonesia

Oleh : Mikail Jam'an, Naslul Wirda, Raynold Tambunan & Sunarta Pormando
16 September 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia yang terus berkembang menimbulkan banyak perubahan dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan manusia. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah menggiring manusia ke dalam kehidupan yang serba cepat, serba otomatis, dan diliputi berbagai kemudahan. Kemudahan-kemudahan inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki berbagai cara dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Begitu halnya dalam dunia perpajakan. Perkembangan yang pesat dari kemampuan teknologi yang telah diciptakan manusia membawa tidak hanya kemudahan, melainkan juga challenge (tantangan) dan threat (ancaman) bagi setiap lini kehidupan manusia.
Dalam dunia perpajakan, perkembangan yang terjadi meliputi tidak hanya dalam kuantitas dan kualitas sistem perpajakan, melainkan meliputi seluruh aspek dari sistem administrasi perpajakan. Dunia dahulu hanya mengenal sistem pembayaran pajak manual, dimana para petugas pajak mendatangi wajib pajak untuk menagih pajak bagi wajib pajak. Seiring dengan berjalannya waktu, dikembangkan pula model-model sistem pemungutan pajak yang lebih efektif, serta efisien dalam hal pemenuhan asas-asas perpajakannya.
Bila dahulu sistem pemungutan pajak hanya mengenal sistem Official Assesment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, maka seiring dengan waktu, untuk mencegah penghindaran pajak yang mungkin terjadi dengan pemberlakuan sistem tersebut, maka berkembang pula sistem pemungutan pajak lainnya, seperti halnya sistem Self Assesment dan sistem Withholding.
Sistem-sistem tersebut secara hukum memiliki dasar hukum yang memadai untuk dilaksanakan. Namun secara asas perpajakan, patut dicermati, bagaimana kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak ini. Selain itu juga patut dicermati, bahwa tidak semua jenis pajak harus mengikuti suatu sistem tertentu yang dianggap paling memadai dibanding sistem lainnya.

B. Permasalahan Pokok
Dalam makalah penelitian ini, penyusun beberapa merumuskan permasalahan pokok, antara lain adalah :
1. Bagaimanakah implementasi mengenai hak dan kewajiban wajib pajak pada masing-masing sistem pemungutan pajak?
2. Apa saja kekurangan dan kelebihan masing-masing sistem pemungutan pajak bila dibandingkan dengan sistem pemungutan pajak lainnya?
3. Bagaimanakah penerapan Advance Ruling dalam kaitannya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak dalam sistem Self Assesment?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Mengetahui implementasi hak dan kewajiban wajib pajak dalam masing-masing sistem yang berlaku.
2. Mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing sistem pemungutan pajak bila dibandingkan dengan sistem pemungutan pajak lainnya.
3. Mengetahui penerapan Advance Ruling dalam sistem Self Assesment.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pajak Penghasilan
Banyak ahli yang telah mendefinisikan pajak dalam masing-masing perspektif mereka. Menurut Prof. Rochmat Soemitro, Guru Besar bidang Hukum Pajak pada Universitas Padjajaran, Bandung, sebagaimana dikutip oleh Safri Nurmantu dalam salah satu bukunya adalah :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir kepada sektor pemerintah), berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum”

Kemudian menurut Rimsky K. Judisseno, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodihardjo yang memberikan pengertian pajak secara bebas, yakni sebagai berikut :
“Pajak adalah suatu kewajiban negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai negara berupa pembangunan nasional, yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara”

Untuk melengkapi karakteristik pajak tersebut, kemudian Prof. Rochmat Soemitro mensyaratkan bahwa suatu pungutan dapat terkategori sebagai pajak apabila memenuhi karakteristik dan unsur-unsur tertentu yang dimiliki oleh pajak, yakni antara lain :
- Iuran dari rakyat kepada negara.
- Yang berhak memungut pajak hanya negara, dan iuran tersebut berupa uang, bukan barang.
- Berdasarkan Undang-undang dan aturan pelaksanaannya
- Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjukkan.
- Digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Mengenai definisi penghasilan, dalam dunia akuntansi secara umum, dikenal tiga konsep dasar mengenai penghasilan dalam dunia akuntansi, yakni sebagaimana dikutip oleh schroeder, Clark dan Cathey dalam buku Financial Accounting Theory and Analysis, yakni antara lain :
- Psychic include which refers to satisfaction of human wants,
- Real Income, which refers to increases in economic wealth, and
- Money income which refers to increases in the monetary valuation of resources.

Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa dalam dunia akuntansi, yang dikenali sebagai bentuk dari penghasilan adalah : secara fisik (terpenuhinya keinginan seseorang), secara riil (berkaitan dengan peningkatan kekayaan ekonomis seseorang), serta secara kepemilikan uang, yakni dengan naiknya nilai keuangan dari sumber daya yang dimiliki suatu entitas.
Dalam literatur yang lain, disebutkan bahwa penghasilan adalah penambahan kotor terhadap kepemilikan modal yang dihasilkan dari kegiatan usaha (bisnis) terkait dengan peningkatan pendapatan, sebagaimana dikutip dalam buku Accounting Principles,
“revenue are the gross increases in owners equity resulting from business activities entered into the purposes of earning incomes” .

Sedangkan Harry I Wolk dan Michael G Tearney dalam buku Accounting Theory : A Conceptual and Institutional Approach mengatakan :
“...Revenue should be identified with the period during which major economic activities necessary to the creation and disposition of goods and services has can be accomplished”

Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa penghasilan juga dapat diidentifikasi sebagai periode dimana aktifitas perekonomian utama yang diperlukan dalam pembuatan dan pemindahan barang dan jasa dapat dilaksanakan.
Namun jika mengambil definisi yang pas, yang juga dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Indonesia, maka yang menjadi definisi dalam hal pajak penghasilan adalah pajak atas penghasilan secara luas, yakni pajak yang dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya. Pengertian penghasilan disini tidak memperhatikan adanya penghasilan hanya dari sumber tertentu saja tetapi lebih kepada tambahan kemampuan ekonomis yang ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara pengertian, tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak merupakan alat ukur terbaik mengenai kemampuan wajib pajak untuk ikutbersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dalam dunia perpajakan di Indonesia sendiri dikenal konsep Ability to Pay Approach. Dari beberapa definisi yang sudah dibahas di atas belum ada satupun definisi yang bisa diterima secara universal untuk digunakan apapun tujuannya (tidak terbatas hanya untuk pajak). Tetapi dalam dunia perpajakan kemudian dikenal sistem yang terhitung paling banyak mempengaruhi pembentukan tax policy di berbagai negara, karena dianggap paling mencerminkan keadilan, sekaligus layak diterapkan (applicable). Konsep ini dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon, yang kemudian lebih dikenal dengan SHS Concept. Inti dari konsep ini antara lain adalah :
a. George Schanz mengemukakan apa yang disebut dengan the accreation theory of income, yang menyatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai suatu barang dan jasa.
b. Haig merumuskan penghasilan sebagai the money value of the next accreation to one’s economic power between two points of time, atau the increaseor accreation in one’s power to satisfyhis wants in a given period in so far as that power consist.
c. Menurut Henry C Simons, penghasilan perorangan secara luas mengandung arti sebagai pemanfaatan kontrol atas penggunaan sumber daya masyarakat yang terbatas.
“It has to do not with sensations, services, or goods but rather with rights which command prices (or to which prices may be imputed).

Penghitungannya termasuk :

- of the amount by which the value a person’s store of property rights would be increased as between the beginning and end of period, if hehad consumed (destroyed) nothing ; or,
- of the value rights which he might have exercised in consumption without altering the value of his store of rights.

Dari kedua asumsi di atas, kemudian Simons menngembangkan definisi penghasilan sebagai berikut :
“the change in the value of the store property right between the beginning and the end of the period in question. In the words, it is merely the result obtained by adding consumption during the period to ‘wealth’ at the end of the period and then subtracting ‘wealth’ at the beginning”.

Konsep-konsep inilah yang kemudian dirumuskan hingga dijadikan dasar penentuan penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia.

B. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam dunia perpajakan dikenal beberapa sistem pemungutan pajak (stelsel). Menurut Silvani, dalam bukunya Improving Tax Compliance, sebagaimana dikutip oleh Haula Rosdiana, yang menjadi tujuan dari administrasi perpajakan adalah mendorong terjadinya kepatuhan sukarela (voluntary compliances). Kepatuhan pajak sukarela tersebut dapat didorong apabila administrasi perpajakan secara tegas menunjukkan dapat mendeteksi dan menangkap para wajib pajak yang tidak menjalankan kewajibannya atau wajib pajak yang tidak patuh, serta menerapkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa pengecualian.
Oleh karenanya, menurut Mansury, untuk terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, setidaknya harus memiliki dasar-dasar sebagai berikut :
- Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang memudahkan bagi administrasi dan memberi kejelasan pada wajib pajak.
- Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan yang dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan wajib pajak.
Menurut Wirawan B Ilyas dan Richard Burton dalam buku Hukum Pajak, terdapat empat jenis teknik pemungutan pajak , antara lain :
a. Sistem Official Assesment, dimana dalam sistem ini fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besaran pajak yang terhutang. Di Indonesia, sistem ini diterapkan pada administrasi Pajak Bumi dan Bangunan.
Secara umum, sistem Official Assesment memiliki ciri-ciri antara lain :
- Wewenang unuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
- Wajib pajak bersifat pasif
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh fiskus.
Menurut Gunadi, di dalam Official Assesment terdapat dua hal penting, yaitu :
- Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan
- Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
b. Sistem Self Assesment, yakni dimana wajib pajak menghitung, menetapkan, dan menyetor sendiri, serta kemudian melaporkan jumlah pajak terutang. Ciri-ciri dari sistem ini antara lain adalah :
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
- Wajib pajak bersifat aktif, karena melakukan sendiri kegiatan menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.
- Fiskus hanya berperan sebagai pengawas (controller).
c. Sistem Semi Self Assesment, yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya utang pajak
d. Sistem Withholding, dimana pihak ketiga (yang berhubungan dekat dengan wajib pajak), berperan sebagai pihak penghitung, penetap, dan penyetor, serta kemudian melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut tersebut. Khusus bagi negara berkembang, Mansury menambahkan bahwa withholding tax amat penting. Administrator akan menjadi lebih baik dalam penegakan hukum pajak, dan juga merupakan solusi bagi pengumpulan pajak (tax collection).
Menurut Leon Yudkin dalam buku a Legal Structure for Effective Income of Tax Administration, yang dimaksud dengan withholding tax atau pajak potong/pungut adalah :
“A withholding tax is not an income tax, but a means of collecting that tax in as much as whatever is collected is applied toward the payment of the total income tax liabilities. By dominating the withheld amount as a tax, the Government can enforce the withholding liabilities upon the person who under the tax laws is obliged to withhold. Essentially, the withholding tax requires a payor to withhold”.

Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa withholding tax, atau yang biasa di Indonesia dikenal dengan pajak potong/pungut bukanlah suatu jenis pajak penghasilan, melainkan sebuah cara atau teknik pemungutan pajak yang pelaksanaannya kemudian dikalkulasikan dalam pembayaran total pajak terutang. Dengan mendominasikan pajak potong/pungut sebagai pelengkap jumlah pajak terutang, pemerintah mampu memaksakan pemungutan/pemotongan pajak tersebut lewat siapapun yang atas dasar hukum diberikan kewenangan dalam memotong/memungut pajak, sehingga dibutuhkan dalam pelaksanaannya pihak ketiga yang bertindak sebagai pihak pemotong/pemungut pajak tersebut.

D. Hak & Kewajiban Wajib Pajak
Hak wajib pajak sebagaimana diuraikan oleh Prof. Duncan Bentley didalam artikelnya yang berjudul The Significance of Declarations of Taxpayers’ Rights and Global Standards for the Delivery of Tax Services by Revenue Authorities berkembang sebagai berikut :
1) Awal dari hak wajib pajak adalah hak dasar didalam sistem perpajakan modern yaitu hak untuk melakukan review atas keputusan pajak dan hak-hak dasar dalam prosedur yang berhubungan dengan pemungutan dan penegakan pajak.
2) Perkembangan kedua dari hak wajib pajak adalah tuntuan atas perbaikan kerangka legislasi dan administrasi untuk meningkatkan interaksi antara wajib pajak dan fiskus. Hak substansial dan prosedural diperkenalkan untuk mengatur mengenai kerahasiaan, penentuan lingkup akses, pencarian, besarnya provisi dan jangkauan hak-hak administrative sebagai fasilitas dalam proses administrasi.
3) Perkembangan berikutnya atas hak-hak wajib pajak dilanjutkan oleh adanya deklarasi atas hak wajib pajak untuk menimbulkan kepastian bagi wajib pajak melalui peningkatan transparansi antara pihak fiskus dan wajib pajak.
Sedangkan kewajiban wajib pajak adalah membayar kewajiban pajak yang terutang atas penghasilannnya, mengenai hal lainnya akan bergantung kepada sistem pemungutan pajak yang berlaku pada suatu negara sebagaimana telah dijelaskan didalam sistem pemungutan pajak.

BAB III
PEMBAHASAN

Semenjak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983, yang merupakan awal dimulainya reformasi perpajakan Indonesia menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), Indonesia telah memperluas sistem pemungutan pajaknya. Semula untuk hampir keseluruhan jenis pajak, diberlakukan sistem Official Assessment. Namun setelahnya, diperkenalkan pula sistem Self Assessment yang hingga kini, kedua sistem tersebut masih diterapkan.
Sistem Self Assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar (menyetor), dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berbeda dengan sistem Official Assesment, dimana kegiatan aktif pemenuhan kewajiban perpajakan berada di tangan fiskus.

A. Implementasi Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Fiskus dan Wajib Pajak
Dalam penerapannya, kedua sistem pemungutan pajak (Self Assesment dan Official Assesment) masing-masing memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan lainnya. Perbedaan ini menentukan pihak yang paling berperan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang ada.
Dalam sistem pemungutan Official Assesment, pihak fiskus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan suatu wajib pajak. Wajib pajak bersifat pasif mengikuti ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan oleh fiskus. Dengan demikian, utang pajak baru akan timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Pihak wajib pajak hanya berkewajiban membayarkan pajak sejumlah yang telah ditetapkan oleh fiskus. Untuk kewajiban perpajakan sebagaimana dimiliki oleh wajib pajak dalam sistem Self Assesment dilakukan oleh pihak fiskus (menghitung/memperhitungkan jumlah pajak terutang).
Berbeda dengan sistem Self Assesment. Dalam sistem ini, wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak berperan aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Peran fiskus tidak ikut campur dan hanya sebatas mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak dari Wajib Pajak.
Dalam sistem ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menjalankan Self Assesment System, yang secara tidak langsung memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak. Artinya, jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu, sistem Self Assessment mewajibkan Wajib Pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Perbedaan yang ada pada kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem Official Assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajaknya menjadi sistem Self Assessment dimana penetapan besarnya jumlah pajak yang seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri pula.
Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya. Fiskus dalam sistem Self Assessment hanya bertugas mengawasi pelaksanaannya, yaitu dengan melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Sistem Self Assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.




B. Kekurangan dan Kelebihan Sistem Pemungutan Pajak
Dalam sistem Official Assesment, tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan yang diwakili oleh fiskus sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkanoleh fiskus.
Dengan demikian, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Untuk menjaga keefektifan dari sistem pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah dengan memperkuat struktur fiskus dan administrasi perpajakan keseluruhan. Wajib pajak tidak berperan serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Self Assesment yang mengikutsertakan Wajib Pajak sebagai partisipan aktif dalam pelaksanaan administrasi perpajakan dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
Berbeda dengan sistem Official Assesment, Dalam sistem Self Assesment terdapat pemberian kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya, mulai dari mendaftarkan diri, kemudian menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya.
Sistem Self Assesment memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya. Secara otomatis, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat, yakni berupa denda bunga, ataupun kenaikan jumlah pajak yang terutang. Dalam beberapa hal, bahkan hukuman yang dikenakan akan sangat berat, seperti halnya sandera pajak(gijzeling) ataupun pidana pajak. Oleh karena itu, sistem Self Assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya (misal : untuk membayar jasa konsultan pajak). Selain itu Self Assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak, sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas parpajakan atau pemerintahan lainnya. Selain itu sistem Self Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Selama pelaksanaan sistem Self Assessment dimulai sejak pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah empat kali UU KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir pada tahun 2007. Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya.
Sering kali Wajib Pajak dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (DJP) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Dikarenakan Indonesia menganut sistem Self Assesment secara luas, hal ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Oleh karenanya kemudian, dalam sistem ini berlaku pula sistem Advance Ruling, dimana apabila ada wajib pajak mempertanyakan sesuatu hal berkaitan dengan regulasi perpajakan, maka fiskus memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Wajib Pajak tersebut.
Namun bagaimanapun, tindakan Wajib Pajak tersebut masih kurang efektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan Dirjen Pajak dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari DJP, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalahpahaman antara Wajib Pajak dengan Fiskus.
Dalam pelaksanaan sistem Self Assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan.
Penyuluhan perpajakan perlu dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan sistem self-assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem self-assessment kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi sebagai berikut:

Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a) Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (Self Assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Dari penjelasan tersebut diharapkan Wajib Pajak lebih memahami kewajiban perpajakannya,namun apakah sistem self-assessment tersebut telah memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan Fiskus, dimana sistem tersebut harus dapat mengefisiensikan administrasi pajak yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam memungut pajak dan memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan sistem Self Assessment, Dirjen Pajak (fiskus) melakukan dua fungsi utama :
2. Fungsi pemeriksaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk meyakinkan sistem Self Assessment dilaksanakan dengan baik, maka juga perlu dilakukan pengawasan (law enforcement) dalam pelaksanaannya. Peran pengawasan ini dilakukan oleh fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection).
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam sistem Self Assessment ada ketentuan bahwa pelaporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental.
Hampir serupa dengan tujuan pemeriksaan pajak, penyidikan pajak dilakukan sebagai salah satu upaya Dirjen Pajak untuk menindak Wajib Pajak yang telah melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila WP melakukan hal-hal seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penyidikan untuk mencari dan mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak tersebut.
Terakhir, penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan perhitungan menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu, Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Dalam praktiknya, sistem Self Assessment ini masih terbentur dengan beberapa kendala, diantaranya sebagai berikut :
1. Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri masih diragukan kebenarannya,oleh karena itu dapat menimbulkan terjadinya penyeludupan pajak karena yang mengetahui kebenaran SPT yang dilaporkan Wajib Pajak hanya Wajib Pajak itu sendiri.
2. Masih banyaknya Wajib Pajak yang kesulitan untuk menghitung/memperhitungkan pajak yang terutang, karena di dalam undang-undang tidak dijelaskan secara terinci bagaimana menghitung pajak terutang untuk berbagai jenis usaha, sehingga banyak perusahaan yang akhirnya melakukan kesalahan dalam menghitung pajak terutangnya. Lain halnya ketika Wajib Pajak harus melakukan rekonsiliasi laporan keuangan komersial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan menjadi laporan keuangan fiskal. Seperti yang dilakukan di Belanda, dimana laporan keuangan fiskal merupakan by product dari akuntansi komersial.
3. Kendala juga tidak terjadi di pihak Wajib Pajak, di pihak fiskus juga terjadi masalah yaitu terbatasnya akses data Wajib Pajak yang dimiliki oleh pihak ketiga sehingga mempersulit Dirjen Pajak untuk mendeteksi kebenaran isi SPT yang dilaporkan Wajib Pajak, sehingga pengawasan belum dapat dilakukan secara optimal.

C. Penerapan Advance Ruling dalam Administrasi Perpajakan Indonesia
Dalam sistem perpajakan Indonesia, yang menganut beberapa sistem (Official Assesment untuk Pajak Bumi dan Bangunan serta BPHTB, serta Self Assesment untuk bermacam-macam jenis pajak lainnya seperti pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai), kemudian diterapkan berbagai aturan tambahan untuk membantu penerapan sistem tersebut di lapangan.
Dalam sistem Self Assesment dikenal istilah Advance Ruling sebagai salah satu alat pembantu penerapan sistem Self Assesment di negara-negara yang mengaplikasikan sistem Self Assesment ini. Advance Ruling bahkan didaulat sebagai salah satu kunci keberhasilan dari penerapan sistem Self Assesment di negara yang memberlakukan sistem ini.
Yang dimaksud dengan Advance Ruling dalam sistem Self Assesment adalah kewajiban yang dimiliki oleh fiskus untuk selalu menjawab dan mengkonsultasikan berbagai pertanyaan dan kebingungan Wajib Pajak terkait dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka selaku Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan mereka sesuai dengan aturan dan perundangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya, sistem Advance Ruling ini menuai berbagai kendala. Kendala yang umum terjadi adalah terkait dengan kekurangan sumber daya yang dimiliki oleh fiskus untuk melayani setiap pertanyaan dan kebingungan Wajib Pajak terkait dengan kewajiban perpajakan yang dimilikinya. Kendala ini berkaitan dengan kurangnya kapabilitas fiskus untuk memberikan panduan yang komprehensif bagi setiap wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Menurut beberapa fiskus, kapabilitas yang dimaksud bukanlah berkaitan dengan kemampuan, melainkan berkaitan dengan kewenangan, karena setiap segala sesuatu hal, baik sesuai ataupun tidak dengan regulasi yang ada, apabila secara resmi keluar dari fiskussebagai lembaga (Dirjen Pajak) adalah telah memiliki kekuatan hukum tertentu.
Kesulitan implementasi Advance Ruling ini merupakan ironi bagi sistem administrasi perpajakan Indonesia, karena dengan tidak berjalannya Advance Ruling sebagaimana seharusnya, maka sistem administrasi berjalan secara pincang. Di satu sisi Wajib Pajak harus melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Di sisi lain, Wajib Pajak tidak memiliki dasar pijakan yang jelas apabila mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya terkait dengan kekurangjelasan peraturan dan regulasi yang ada. Di sini, Wajib Pajak berada dalam posisi yang dilematis. Apabila melaksanakan kewajiban tidak sesuai dengan regulasi dikarenakan ketidakjelasan aturan, maka Wajib Pajak menghadapi resiko hukuman, baik secara administratif maupun pidana. Apalagi apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban tersebut, secara otomatis sanksi sudah menunggu wajib pajak tersebut.
Seharusnya, setiap negara, termasuk Indonesia, yang telah berkomitmen dalam menerapkan sistem Self Assesment dalam administrasi perpajakannya, terlebih dahulu telah mempersiapkan sarana dan prasarana baik fisik maupun non-fisik terkait dengan penerapan sistem Self Assesment ini, termasuk di dalamnya sarana pendukung penerapan sistem Advance Ruling ini. Dengan adanya persiapan yang memadai, sistem Self Assesment yang berguna dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja fiskus dalam pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik. Kepastian dari sisi Wajib Pajak juga akan didapat sebagaimana kepastian dari sisi regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.


BAB IV
KESIMPULAN

1. Dalam implementasi sistem pemungutan pajak, baik sistem Official Assesment maupun sistem Self Assesment, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Perbedaan ini menyangkut keaktifan dari Wajib Pajak selaku pihak pengemban beban pajak terutang.
Dalam sistem Official Assesment, dimana fiskus aktif sebagai penghitung dan pemberi ketetapan atas besaran pajak terutang dari Wajib Pajak, kewajiban dari pihak Wajib Pajak hanyalah sebatas membayar (menyetor) pajak yang terutang kepada kas negara. Proses pemungutannya dilakukan langsung oleh fiskus yang juga bertindak sebagai pihak pemungut. Di dalam sistem Official Assesment ini, peran fiskus amat vital, karena fiskus berperan sebagai penghitung, dan pemberi ketetapan jumlah pajak yang terutang. Dengan demikian pihak fiskus yang akan menentukan sejauh mana efektifitas dan efisiensi dari sistem pemungutan secara Official Assesment.
Berbeda dengan sistem Official Assesment, dalam sistem Self Assesment pihak Wajib Pajak justru yang berperan aktif disini. Pihak Wajib Pajak berkewajiban mulai dari mendaftarkan diri (untuk memperoleh NPWP), kemudian menghitung, menyetor, serta melaporkan pajak terutangnya. Begitupun halnya dalam hal pemeriksaan dan penyidikan, dimana Wajib Pajak berkewajiban memberikan segala yang dibutuhkan oleh pihak fiskus untuk memperoleh bukti yang menyatakan kepatuhan Wajib Pajak terhadap regulasi yang berlaku.
Mengenai hak yang dimiliki Wajib Pajak dalam implementasi kedua sistem ini juga berbeda. Dalam hal sistem Official Assesment, karena bersifat pasif, maka hak Wajib Pajak terbatas pada hak untuk dapat memperoleh ketetapan pajak yang berkaitan dengan pajak terutangnya secara jelas dan tepat waktu, guna menjamin terlaksananya kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, dalam sistem Self Assesment, wajib dimana dalam sistem ini justru pihak Wajib Pajak yang aktif melaksanakan kewajiban perpajakan yang dimilikinya sehingga hak yang diperoleh oleh wajib pajak lebih luas dibandingkan dengan official assesment system serta Wajib Pajak memiliki hak untuk meminta penjelasan kepada pihak fiskus selaku pengawas dalam sistem ini. Hak meminta penjelasan tersebut diantaranya tercakup dalam Advance Ruling, yang mewajibkan fiskus untuk memberi feedback optimal kepada Wajib Pajak agar dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya.

2. Dari segi kekurangan dan kelebihan, masing-masing sistem memiliki kekurangan dan kelebihan sendiri sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Dalam Sistem Official Assesment, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya. Untuk menjaga keefektifan dari sistem pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah dengan memperkuat struktur fiskus dan administrasi perpajakan keseluruhan.
Dalam sistem Official Assesment juga, Wajib pajak tidak berperan serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Self Assesment yang mengikutsertakan Wajib Pajak sebagai partisipan aktif dalam pelaksanaan administrasi perpajakan dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Namun dari sisi kelebihannya, sistem Official Assesment menjadikan pihak fiskus dapat lebih mengontrol kepatuhan dari pihak Wajib Pajak, karena pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan hanya sebatas pada kepatuhan wajib pajak akan pembayaran jumlah pajak terutangnya saja.
Dalam sistem Self Assesment terdapat tambahan biaya (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan relatif mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya. Selain itu Self Assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak, sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas parpajakan atau pemerintahan lainnya. Selain itu sistem Self Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Kekurangan pada self assesment system dalam hal meningkatkan volunatary compliance dapat juga dibantu oleh penerapan sistem witholding dimana pada sistem tersebut kewajiban wajib pajak dipindahkan dipindahkan kepada pihak lain pemberi penghasilan sehingga ada kepastian atas penerimaan pajak.

3. Proses implementasi Advance Ruling di Indonesia belum terlaksana dengan baik sesuai dengan yang seharusnya. Secara konseptual, Advance Ruling memerlukan perangkat regulasi yang menjamin terpenuhinya hak Wajib Pajak untuk meminta arahan dan petunjuk prosedural disaat terbentur dengan peraturan yang ada. Best Practice di berbagai negara menunjukkan bahwa pada mayoritas negara yang menerapkan sistem Self Assesment telah mengakomodasi hak tersebut lewatr Undang-undang Perpajakannya. Di Indonesia, belum ada peraturan yang eksplisit mengatur mengenai pelaksanaan Advance Ruling sebagai bagian tak terpisahkan dari penerapan sistem pemungutan pajak Self Assesment.

REFERENSI

Buku :
  • Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Jakarta : PT. ERESCO, 2000
  • Gunadi, dkk., Perpajakan, Jakarta : Lembaga Penerbit FE, 1997
  • Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2004
  • Leon Yudkin, A Legal Structure for Effective Income of Tax Administration, International Tax Program, Harvard Law School, Cambridge : Harvard College, 1971
  • Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Jakarta : Kelompok Yayasan Obor, 2003
  • R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta : Ind Hill-Co, 1996
  • Rosdiana, Haula, Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Program Pelatihan Konsultan Pajak, Jakarta : Pusat Kajian Ilmu Administrasi, 2005
  • Schroeder, Richard G, Myrtle W Clark, Jack M Cathey, Financial Accounting Theory and Analysis, Tax Reading and Cases, 7th edition, John Wiley & Sons Inc., USA : 2001
  • Simons, Henry C, Personal Income Taxation : The Definition of Income as a Problem of Fiscal Policy, USA : The University of Chicago Press, Midway Reprint, 1980
  • Sommerfeld, Ray M, an Introduction to Taxation, London : Harcourt Brace Javanovic Inc., 1982
  • Weygand, Jimmy J, Donald E Kieso, Paul D Kimmel, Accounting Principles, John Wiley & Sons Inc., USA : 2002
  • Wolk, Harry I, Michael G Tearney, Accounting Theory : a Conceptual & Institutional Approach 5th edition, USA : South Western College Publishing, 2001

Simposium Paper :
  • Bentley, Duncan (2002), The significance of declarations of taxpayers’ rights and global standards for the delivery of tax services by revenue authorities, International Symposium on Japan’s Tax Reforms: In commemoration of the 100th anniversary of the birth of Dr Carl S Shoup, 5 June 2002 (Tokyo) and 7 June 2002 (Osaka)

Internet :
www.pajak.go.id
www.pajakonline.com
www.ortax.org

Royalti vs Jasa Teknik

Royalti vs Jasa Teknik
Bias dalam definisi Jasa Teknik & Royalti di dalam UU No 36/2008 (Tentang Perubahan keempat atas Pajak Penghasilan)

Oleh : Mikail Jam'an, Naslul Wirda, Raynold Tambunan & Sunarta Pormando
6 Oktober 2009

I. PENDAHULUAN

Dalam era globalisasi ini, banyak bermunculan format bisnis baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Format baru dalam berbisnis ini timbul didorong oleh kebutuhan manusia untuk dapat lebih mengoptimalkan sebaik-baiknya potensi yang dimilikinya demi memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin, termasuk perkembangan teknologi yang terus berjalan. Dari sinilah kemudian timbul jenis-jenis bisnis baru, mulai dari waralaba (franchise), e-commerce, telemarketing, dan lain sebagainya.
Dalam kaitannya dengan bisnis franchise, atau lebih dikenal dalam kosakata Indonesia sebagai waralaba, perkembangannya terasa cukup signifikan. Bahkan waralaba, khususnya yang berbentuk mini-market kini bukan hanya menjadi monopoli franchisee di daerah metropolitan saja, melainkan telah merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Bahkan di beberapa daerah, waralaba yang ada mulai menciptakan persaingan yang sengit, tidak hanya antar pemain waralaba, melainkan juga dengan pengelola bisnis non-waralaba semisal pedagang pasar tradisional dan supermarket besar.
Melihat perkembangan yang cukup signifikan, tidaklah mengherankan, karena perputaran uang yang terlibat dalam bisnis tersebut juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Melihat jumlahnya yang ribuan, tidak salah apabila omzet yang dihasilkan oleh bisnis ini menyentuh angka yang cukup menjanjikan. Hal ini dengan kata lain juga mengindikasikan besarnya potensi pendapatan negara dalam bidang pajak yang dapat diraih dari bisnis ini.
Sayangnya, potensi pemasukan pajak dari sektor franchise ini belumlah dapat dioptimalkan sebagaimana besarnya bisnis yang berjalan. Hal ini dikarenakan banyaknya pelaku bisnis lisensi yang tidak mencatatkan usahanya kepada pemerintah . Dalam praktiknya, perusahaan pemberi lisensi (franchiser) umumnya memungut dua hingga tujuh persen dari omzet penjualan perusahaan penerima lisensi (franchisee) dalam bentuk royalti. Pungutan ini di luar tarif PPh 20 persen yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, franchiser memperoleh hak atas royalti atas penggunaan merek yang dipakai franchisee. Tetapi, besar kemungkinan pemerintah tidak memperoleh pemasukan dari PPh atas royalti yang diperoleh franchiser atas praktik bisnis lisensinya. Hal itu terjadi karena banyak pelaku bisnis lisensi tidak mencatatkan usahanya ke pemerintah hingga kini. Padahal, jumlah pebisnis lisensi bisa ribuan perusahaan.
Perusahaan pemilik lisensi tidak pernah menyetor pajak karena landasan aturan dalam bisnis lisensi tidak terlalu kuat. Akibatnya, pemerintah dirugikan dari penerimaan pajak royalti. Padahal secara substansi, praktik bisnis waralaba menggunakan lisensi itu menimbulkan kegiatan usaha, proses produksi, dan keuntungan. jadi, seharusnya termasuk dalam kegiatan yang terutang pajak.
Dalam Tulisan ini, selain memfokuskan pada implementasi perpajakan atas bisnis franchise, kami juga menitikberatkan tentang hambatan-hambatan yang timbul dalam pengenaan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik, terutama hambatan mengenai kesulitan dalam mendiferensiasikan definisi mengenai penghasilan yang akan dikenakan pajak penghasilan, apakah penghasilan tersebut terklasifikasi sebagai royalti ataukah terklasifikasi sebagai imbalan jasa teknik (fees for technical services).
Dalam Tulisan ini, kami mengambil referensi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh ibu Ning Rahayu (Thesis) mengenai Pajak Penghasilan atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun Perjanjian Internasional (Suatu Tinjauan untuk Meningkatkan Kepastian Hukum & Mencegah Penghindaran Pajak).

Pokok permasalahan
pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi perpajakan atas penghasilan yang diperolehdari bisnis franchise berdasarkan ketentuan yang ada?
2. Bagaimanakah penerapan asas kepastian dalam pendefinisian royalti dan imbalan jasa teknik dalam regulasi perpajakan Indonesia?
3. Apa saja hambatan yang ditemui dalam implementasi perpajakan penghasilkan atas royalti dan imbalan jasa teknik

II. Landasan Pustaka

II. 1 Franchise
II. 1.A Deskripsi Franchise
Perkembangan bisnis waralaba, atau yang lebih populer dalam istilah asalnya yakni franchise, memang tengah berkembang dengan pesat, khususnya di Indonesia. Dalam dunia perdagangan di Indonesia, bisnis secara franchise memang terhitung cukup menjanjikan. Pengembangan konsep franchise, antara yang bersifat kemitraan ataupun non-kemitraan telah menjamin perkembangan jenis usaha ini di tanah air.
Bila ditinjau dari segi etimologis (kebahasaan), kosakata franchise berasal dari bahasa perancis yang berarti bebas dari kungkungan/belenggu. Hakikat dari pengertian waralaba adalah mandiri atau bebas. Sedangkan dalam konteks bisnis, secara terminologis franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri pada wilayah tertentu. Waralaba sendiri merupakan kosakata dari Bahasa Indonesia yang berasal dari kata “wara” yang artinya lebih atau istimewa, serta “laba” yang berarti untung. Jadi waralaba berarti bisnis yang menjanjikan keuntungan istimewa/lebih.
Definisi franchise menurut Donald F Kuratko & Richard M. Hodgets adalah sebagai “any arrangement in which the owner of trademark, trade name, or copyright has licensed other to used it in selling goods or services ”. Atau dengan terjemahannya dapat didefinisikan sebagai perjanjian dimana pemilik dari merek dagang, nama dagang atau hak cipta memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya dalam menjual barang atau jasa.
Menurut Kieso & Weygandt, “Franchise adalah perjanjian dimana pemilik waralaba memberikan hak kepada pewaralaba untuk menjual produk atau jasa tertentu, dengan menggunakan nama atau merek dagang tertentu atau untuk menjalankan fungsi tertentu, biasanya didalam sebuah areal geografis tertentu yang telah dirancang ”.
Serupa dengan Kieso & Weygandt namun dengan pernyataan tambahan berupa tambahan adanya pemberian hak dengan didasari adanya waktu pemakaian hak dan syarat-syarat berlakunya hak tersebut, Smith dan Skousen memberi definisi terhadap franchise, yakni “Franchise (Hak Monopoli) adalah hak khusus atau istimewa yang diterima oleh suatu badan usaha ataupun perorangan sebagai “agen tunggal” (franchisee) guna melaksanakan fungsi bisnis tertentu,atau menggunakan produk atau jasa tertentu, biasanya di wilayah geografis tertentu. Pemberi hak monopoli (franchisor) biasanya menetapkan waktu pemakaian hak tersebut dan syarat berlakunya”
Dari deskripsi Kuratko & Hodgets dapat disimpulkan bahwa yang dijadikan objek dalam franchise adalah 1) Merek atau nama dagang (Trademark / tradename) dan hak cipta.
Merek atau nama dagang adalah sebuah kata, atau simbol yang membedakan atau mengidentifikasikan sebuah badan usaha, atau produk. Sedangkan hak cipta adalah hak yang dimiliki oleh penulis, pelukis, musisi, pematung dan pelaku seni lainnya terkait kreasi dan ekspresi yang telah diciptakan . Definisi yang disebutkan oleh Kuratko & Hodgets tersebut tidak mencakup objek franchise berupa paten, padahal dalam hal waralaba, paten juga merupakan salah satu unsur yang termasuk didalamnya. Adapun jenis dari paten adalah 1) paten produk 2) paten atas prosess, paten produk mencakup produk secara fisik dan paten atas proses melingkupi hak khusus bagi pemilik hak paten atas penggunaan proses, pembuatan dan penjualan produk tanpa hambatan dari pihak lain yang tidak memiliki hak paten tersebut .
Dilihat melalui aspek legal, waralaba memiliki arti persetujuan secara legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari pemilik (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang diatur dalam aturan tertentu. Kata mandiri disini lebih pada arti kepemilikan. Franchisee bukan anak/cabang perusahaan melainkan perusahaan yang mandiri. Hubungan antara franchisor dan franchisee bersifat ekual, dimana masing-masing memiliki hak dan kewajiban tertentu terkait bisnis yang dijalankan.
Pendapat serupa juga diungkapkan Gunadi dalam buku Pajak dalam Aktivitas Bisnis sebagai berikut :
“Dalam kegiatan franchising, paling tidak terikat dua pihak yang saling berhubungan yakni franchisor (penjual) dan franchisee (pembeli). Franchisee membeli suatu bisnis dan menarik manfaat dari pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan yang dapat disediakan penjual (pemilik franchise)”.
Bagi kedua pihak, baik franchisor maupun franchisee, bisnis secara franchise menjanjikan kemudahan yang tidak dimiliki oleh bisnis lainnya. Bagi franchisor, bisnis secara franchise memungkinkan untuk memperluas (ekspansi) usaha secara cepat dan mudah, menancapkan dominasi merk, serta menambah penghasilan tanpa harus mengambil resiko investasi yang meluas dan tanpa perlu merombak atau mengubah struktur dan kultur manajemen. Sedangkan bagi pihak franchisee, cara bisnis ini menarik karena franchise tidak harus mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang akan dipasarkannya, yang selain makan waktu juga penuh dengan resiko. Dengan sistem franchise, produk atau jasa yang akan ditawarkan sudah jelas, sudah dapat dilihat bukti keberhasilannya, lengkap dengan strategi pemasarannya. Dengan kata lain, franchisee hanya tinggal menumpang sukses kepada sang franchisor walaupun perlu adanya pertimbangan biaya (pembagian hasil atau fee atas waralaba berupa royalti yang harus dibayar) dengan manfaat ekonomis yang diperolehnya.

II. 1.B Perlakuan Akuntansi Atas Franchise
Franchise dalam konteks akuntansi dapat dimasukan dalam golongan aset tidak berwujud (intangible aset) dikarenakan adanya sifat-sifat yang melekat didalam franchise yaitu : 1) dapat diidentifikasi, 2) sifat perolehannya yang dapat diperoleh dari pihak lain, atau merupakan pengembangan internal, 3) mempunyai masa manfaat yang diharapkan, dan 4) dapat dipisahkan dari keseluruhan perusahaan. Adapun definisi yang berkembang saat ini menyarankan bahwa aset tidak berwujud dapat diklasifikasikan sesuai dengan sumber perolehannya apakah itu dari dalam (pengembangan secara internal) ataupun dari luar (melalui pembelian dari pihak
lain) . Dimana atas aset yang diperoleh dari dalam tidak dapat dikapitalisasikan oleh pewaralaba sehingga harus dibebankan sesuai dengan alokasi periode masa manfaat atas franchise tersebut berlaku. Sedangkan atas aset waralaba yang diperoleh dari luar dapat dikapitalisasikan oleh pemilik waralaba dengan mengacu kepada deskripsi penggolongan elemen dalam laporan keuangan yaitu sesuatu digolongkan sebagai aset adalah yang merupakan sesuatu yang dapat memberikan manfaat ekonomis kepada entitas di masa depan sebagai akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu .



II. 2. Royalti
II. 2.A Deskripsi atas Royalti
Royalti erat kaitannya dengan kegiatan waralaba, dimana sesuai penjelasan sebelumnya pihak pewaralaba mempunyai kewajiban kepada pemilik waralaba untuk memberikan fee waralaba atau biasa juga disebut sebagai royalti.
Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti bisa diberikan dari definisi yang dikeluarkan oleh www.legal-explanation.com berikut ini :
“Royalty is the consideration paid to the creator of a property, idea, inventions etc, as a percentage of the revenue collected from sale of the products created, manufactured or developed using the idea, inventions or creations made by the creators”.
Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti dalam dunia perpajakan, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran (imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari suatu property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase tertentu dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan menggunakan property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.
OECD Model Conventions on Double Tax Avoidance (OECD MC) mengyatakan bahwa royalti merupakan bagian daripada passive income. Selain itu royalti menurut OECD MC Income Classification Rules merupakan penghasilan yang diperoleh dari assets or contractual relationship.
Roy Rohatgi menyatakan “royalty is normally a payment received for the use or the right to use any intangible right or know how under license ” atau terjemahannya “royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu sesuatu dibawah perizinan. Jadi disimpulkan bahwa Jenis-jenis sumber royalti adalah Hak atas aset tidak berwujud yang dapat berupa : :
• Pengetahuan tertentu yang bersifat rahasia (rahasia dagang)
Hak atas cara untuk pelaksanaan sesuatu hal (know how) berupa informasi eknis dan pengalaman yang penting untuk menjalankan aktivitas komersial yang bersifat rahasia berupa hak atas karya intelektual (HAKI) atau pengetahuan teknis rahasia.
• Jasa teknis dan bantuan teknis
Pemberian jasa teknis dan bantuan teknis dimana pemberi jasa bertanggung jawab atas lingkup pekerjaannya, serta imbal jasa diperoleh ketika jasa tersebut mencakup ide dan prinsip-prinsip dengan syarat rahasia. Atas hal penerimaan dari itu juga digolongkan sebagai royalti.

Mansury mendefinisikan royalti sebagai penghasilan dari penyerahan paten.atau harta tak berwujud lainnya untuk dipakai oleh pihak lain . Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris dari sang penemu.

Dalam dunia internasional, khususnya dalam dunia perpajakan internasional, dikenal dua jenis definisi dari royalti, yakni sebagaimana didefinisikan oleh OECD (OECD Model) dan PBB (UN Model) sebagai berikut :


Article 12
OECD Model

The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for information concerning industrial, commercial, or scientific experience

Article 12
UN Model

The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph, films or tapes used for radio or television broadcasting, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for the use of, or the right to use industrial, commercial or scientific equipment, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience

Berdasarkan perbandingan di atas jelas bahwa UN Model memberikan definisi yang lebih luas dibandingkan OECD Model tentang royalti, yakni UN Model juga mencakup :
• Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai hak cipta atas karya seni berupa pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio maupun televisi.
• Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai perlengkapan perindustrian, perdagangan dan perlengkapan ilmiah .



II.3 Imbalan Jasa Teknik
Tidak ada ahli yang secara khusus mendefinisikan Imbalan Jasa Teknik (fees for technical services). Namun secara singkat dapat diartikan bahwa Imbalan Jasa Teknik adalah imbalan yang diberikan kepada suatu pihak tertentu atas pekerjaan yang dilakukannya terkait dengan spesifikasi profesional suatu bidang khusus tertentu, termasuk di dalamnya seni dan teknik perancangan khusus.
Dalam penelitiannya, Ning Rahayu menyimpulkan bahwa dalam kumpulan treaty antara Indonesia dengan beberapa negara, didapat variasi definisi atas pengertian jasa teknik, antara lain :
1. Variasi pertama, pengertian jasa teknik tidak diberikan tersendiri, melainkan tercakup secara implisit dalam kata-kata “furnishing of services”, yaitu sebagai bagian dari kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) apabila telah memenuhi ambang batas waktu (time test). Dalam hal ini, imbalan jasa teknik yang dimaksud termasuk dalam bagian penghasilan dari usaha (business income)
2. Variasi kedua, yakni pengertian jasa teknik dicantumkan dalam pasal tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai imbalan jasa teknik (fees for technical services). Pengenaan pajak atas imbalan jasa teknik dilaksanakan dengan cara yang sama atas pengenaan pajak atas royalti, yaitu melalui pemotongan oleh pihak yang membayarkan jasa teknik, namun dengan penerapan reduce rate yang berbeda dengan reduced rate untuk royalti.
3. Variasi ketiga, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur mengenai royalti dan imbalan jasa teknik (royalties and fees for technical services). Jadi, baik jasa teknik maupun royalti diatur dalam pasal yang sama dan dengan pengenaan pajak yang sama, yaitu melalui pemotongan dengan pihak lain (withholding) serta dengan penerapan reduced rate. Namun demikian, pengertian mengenai royalti maupun jasa teknik diberikan masing-masing.
4. Variasi keempat, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang mengatur tentang royalti. Jadi, meskipun pada hakikatnya merupakan imbalan jasa teknik, namun dianggap sebagai royalti, sepanjang jasa teknik yang diberikan tersebut merupakan pelengkap (subsidiary) dan dilakukan sebagai upaya untuk memungkinkan pemakaian hak (hak cipta dan lain-lain), harta (hak paten, merk dagang, dan lain-lain), perlengkapan (perlengkapan perindustrian, ilmu pengetahuan dan perdagangan) dan informasi mengenai pengalaman (di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri). Apabila jasa teknik yang diberikan tersebut semata-mata merupakan jasa teknik yang bukan merupakan pelangkap (subsidiary) dari royalti, maka pemberian jasa teknik tersebut termasuk dalam pengertian furnishing of services yang tercantum dalam pasal mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT/Permanent Establishment). Dengan demikian, imbalan atas jasa teknik yang diperoleh tersebut merupakan penghasilan dari usaha (business income).

BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

Di dalam Indonesia, hingga saat ini, jumlah waralaba (franchise) aktif terhitung sekitar 250 waralaba. Dari jumlah itu, lebih banyak waralaba asing, dan hampir setengahnya berasal dari Amerika Serikat. Sekitar 50% diantaranya bergerak di bisnis makanan. Sedangkan saat ini waralaba lokal baru mencapai sekitar 50 waralaba dari jumlah keseluruhan tersebut.
Dari jumlah tersebut, hampir tidak ada perbedaan diantara jenis waralaba tersebut. Hanya saja, waralaba lokal mempunyai ciri-ciri yang sangat khas sekali, terutama dari jenis produk atau jasa yang dijualnya. Kebanyakan, waralaba lokal berkaitan dengan makanan dan budaya, seperti berbagai produk kerajinan, batik, ukiran, dan pakaian.
Lazimnya, waralaba asing akan masuk ke negara yang pendapatan per kapitanya di atas US$ 1.000 per tahun. Jika masuk ke negara yang per kapitanya di bawah US$ 1.000, menurut asosiasi Franchise Indonesia (AFI) maka potensi kegagalannya akan sangat terbuka. Nah, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai sekitar US$ 1.060. Di Jakarta sendiri, dimana ibukota negeri ini menjadi pusat kegiatan bisnis franchise ini, pendapatan perkapitanya bisa mencapai US$ 3.180.
Dengan prospek yang cukup bagus ini, setiap tahunnya, bisnis ini dapat tumbuh sekitar 10% sampai 15%. Namun perkembangannya sendiri belakangan ternyata melambat. Penyebabnya tidak lain adalah karena para pebisnis di sini belum matang. Usaha waralaba itu sendiri secara nature tidak bersifat instan. Dalam pengelolaannya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang tinggi serta kiat-kiat yang inovatif.





a. Implementasi Pajak Atas Penghasilan yang Bersumber dari Franchise
Dalam praktik bisnis franchise ini, franchise & royalty fee wajib ada dan menjadi syarat dalam suatu bisnis franchise. Ketiadaan unsur fee ini menjadi indikasi penyembunyian menyangkut keuntungan yang diperoleh oleh franchisor daribisnis ini.
Pada hakekatnya royalti adalah honorarium yang sewajarnya dibayar oleh licensee/franchisee, sebagai pemakai konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama pada licensor/franchisor dan pemilik bisnis waralaba tersebut.
Mendengar royalty fee mungkin sudah tidak asing lagi karena sering ditulis dan diucapkan di berbagai media, buku dan seminar-seminar publik. Namun demikian sebetulnya istilah tersebut adalah istilah yang lazim dipakai dalam bidang lisensi, distribusi maupun franchise. Dan di masing-masing bidang, royalty fee sejatinya lebih menitikberatkan pada aspek pemakaian/penggunaan karena memang royalty fee adalah biaya yang harus dibayar secara periodik atas penggunaan konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama dari franchisor yang bersangkutan oleh franchisee.
Dalam franchise sebagai suatu format bisnis yang dituangkan dalam suatu perjanjian antara franchisor sebagai pemilik dari hak intelektual, brand, logo dan sistem operasi dan franchisee sebagai penerima (konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama) royalty fee wajib dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor sesuai yang diperjanjikan dan dalam hal ini wajib dibayarkan setiap bulan/triwulan, sekali lagi, tergantung kesepakatan sebelumnya.
Mengenai berapa besarnya, tergantung jenis usaha serta hitung-hitungan dari franchisor yang mencakup aspek feasibility atau kelayakannya suatu usaha franchise. Meski begitu menurut Ketua Asosiasi Franchise Indonesia, besarnya royalti fee yang wajar adalah yang seperi di luar negeri, yakni antara 1%-12%. Kalau lebih dari itu sudah tidak wajar. Dan prosentase tersebut harus diambil dari omset kotor bukan profit, karena bila dihitung dari profit akan menjadi lebih sulit (complicated) karena profit sudah masuk dalam pembukuan sehingga perhitungannya harus memperhatikan banyak aspek .
Keberadaan royalty fee sudah seharusnya dijadikan sumber utama pendapatan franchisor demi kelangsungan usahanya, karena bagaimanapun juga franchisor membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala pengeluaran untuk men-support usahanya seperti : membayar biaya supervisi, biaya monitoring dan biaya on going asistensi secara terus menerus.
Dalam aspek perpajakan terkait bisnis franchise ini, pemajakan dilakukan atas penghasilan yang diterima franchisor dari franchisee berupa royalty fee, sebagaimana telah diulas sebelumnya.
Untuk mengetahui aspek perpajakannya, dapat didasarkan pada Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni pada penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Terakhir Diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Dari Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut, diketahui bahwa atas pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada franchisor , akan dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal ini franchisor) tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya menjadi 30 % ). Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

b. Implementasi terhadap Diferensiasi Definisi atas Royalti dan Jasa Teknik
Menurut Michael Krausse, sebagaimana dikutip Ning Rahayu, kriteria perbedaan antara royalti dari know how dengan imbalan jasa teknik menurut praktik internasional adalah :
“As a general rule, the transfer of know how involves the provision of industrial, commercial or scientific information which remains unrevealed to the public an likewise, the grantor is not required to take part in the application of the formula or to guarantee the result thereof. On the contrary, a typical contract for the provision of technical services, is that in which one of the parties undertakes to use his skills to execute work himself for the other party. In otherwords, existing know-how which is required for performing the work will be for on his own benefit within the framework of the services provided and he will also accept responsibility for it’s result”

Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa dalam praktiknya, royalti diberikan atas transfer know how dari seseorang kepada pihak lain tanpa pihak yang memiliki hak royalti tersebut harus ikut serta dalam penerapan suatu formula tersebut. Dengan demikian, pemegang royalti juga tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang diperoleh atas pengaplikasian formula tersebut. Hal ini berbeda dengan jasa teknik, dimana pemegang hak atas jasa teknik tersebut turut serta dalam pengaplikasian formula yang dimilikinya, yang juga menjadikannya turut bertanggungjawab atas hasil yang didapat dari pengaplikasian formula tersebut.
Dalam hal pemberian informasi, diferensiasi definitif antara royalti dan jasa teknik dapat dilihat dari makalah Adolfo Alchahabian sebagaimana juga dikutip oleh Ning Rahayu yang menyebutkan bahwa royalti dari know how merupakan transfer pengetahuan teknik (technical knowledge) yang berhubungan dengan formula atau rahasia untuk membuat atau memproduksi sesuatu (manufacturing). Sedangkan ruang lingkup pemberian jasa adalah pemberian bantuan teknik melalui penyediaan royalti dari know how yang berhubungan dengan keahlian tertentu dari adviser di lapangan yang dapat diberikan dalam bentuk training (bagi karyawan), nasihat atau penerapan metode produksi tertentu. Selain itu, pemberian jasa juga mungkin dilakukan dengan pembekalan manual tertentu bagi operator di lapangan. Dengan demikian, terdapat hubungan efektif antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang diberikan (imbalan jasa teknik), dan tidak semata didasarkan atas persentase penjualan sebagaimana layaknya royalti.
Dalam praktiknya, banyak kalangan memanfaatkan lemahnya penafsiran fiskus terhadap definisi royalti dan jasa teknik ini untuk memanfaatkan disparitas tarif yang berlaku terhadap keduanya. Di satu sisi pihak wajib pajak hanya memungut royalti, namun pada saat penghitungan pajak berdalih bahwa fee yang didapat adalah hasil dari imbalan jasa teknik (fees for technical services). Perbedaan tarif (efektif) yang berlaku di antara keduanya menjadikan acuan wajib pajak untuk menyamarkan royalti yang didapatnya menjadi imbalan jasa teknik. Padahal secara konseptual sudah jelas perbedaan diantara keduanya, yakni royalti semata hanya dikenakan atas passive income atas digunakannya hak cipta (dan sejenisnya) yang dimiliki wajib pajak, sedangkan imbalan jasa teknik diberikan sekaligus sebagai fee atas pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada kliennya.

c. Penerapan Pajak Penghasilan atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
Dalam UU Pajak Penghasilan terbaru Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008, dalam pasal 23 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 23

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dari kutipan peraturan di atas, jelas bahwa dalam UU PPh terbaru, Pajak Penghasilan yang dikenakan atas royalti adalah sebesar 15% atas jumlah bruto. Sedangkan untuk Imbalan Jasa Teknik hanya dikenakan sebesar 2% dari jumlah bruto. Dengan demikian terdapat dispute tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%.
Perbedaan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik dalam berbagai perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional seperti halnya tax treaty, juga terdapat perbedaan yang signifikan mengenai perlakuan Royalti dan Imbalan Jasa Teknik.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty, pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku. Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yangberlaku adalah tarif sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya terjadi di Indonesia).
Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia. Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).
Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia. Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku. Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan dimasukkan ke dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan Independent Personal Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya beberapa syarat menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di Indonesia yang bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama kehadirannya di Indonesia, sesuai dengan treaty.
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak final.


BAB IV
KESIMPULAN


1. Aspek perpajakan atas transaksi bisnis franchise (waralaba) di Indonesia dapat didasarkan pada Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni pada penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Terakhir Diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Dari Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut, diketahui bahwa atas pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada franchisor , akan dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal ini franchisor) tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya jadi 30 % ). Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

2. Secara konseptual perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik terletak pada karakteristik penghasilan yang dimaksud sendiri. Penghasilan royalti semata hanya berupa passive income atas digunakannya hak yang dimiliki wajib pajak, terkait dengan hak memakai hak cipta atas karya tulis, karya seni, ataupun karya ilmiah, termasuk film-film bioskop, atau pita-pita yang dipakai untuk radio ataupun penyiaran televisi, atas hak paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau proses rahasia, atau untuk memakai atau hak untuk memakai perlengkapan perindustrian, perdagangan atau perlengkapan ilmiah, atau atas informasi yang berkenaan dengan pengalaman di bidang perindustrian, perdagangan, atau di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan imbalan jasa teknik diberikan sekaligus sebagai fee atas pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada kliennya, tidak semata-mata hanya penggunaan hak (cipta, dsb.) yang dimiliki oleh sang pemberi jasa teknik tersebut.

3. Hambatan yang dihadapi oleh implementasi atas pajak penghasilan royalti dan jasa teknik adalah tida adanya batasan yang jelas antara pengertian royalti dan jasa teknik. Adanya perbedaan antara tarif pajak penghasilan atas royalti yang sebesar 15% dari jumlah bruto dengan tarrif jasa teknik yang hanya 2% dari Pajak terdapat dispute tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%. Hambatan dalam pelaksanaan pemajakan bagi fiskus dan pelaksanaan kepatuhan pajak bagi wajib penerima penghasilan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik dalam berbagai perjanjian internasional.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty, pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku. Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yangberlaku adalah tarif sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya terjadi di Indonesia).
Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia. Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).
Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia. Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku. Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan dimasukkan ke dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan Independent Personal Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya beberapa syarat menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di Indonesia yang bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama kehadirannya di Indonesia, sesuai dengan treaty.
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak final.

DAFTAR REFERENSI

Buku :
Kuratko, Donald F. & Richard M. Hodgets, Entrepreneurship: Theory, Process, Practice 6th Ed, USA :Thompson Southwest College Publishing, 2003
Smith, J.M. dan Skousen F.K., Akuntansi Intermediate Jilid I, Penerbit Erlangga : Yogyakarta, 2003.
Gunadi, Pajak dalam Aktifitas Bisnis, Penerbit Abdi Tandur : Jakarta,1997
Kamal Fatchi, International Management, Prentice Hall Inc. : New Jersey, USA, 1996,
Schroeder, Richard G, Myrtle W Clark, Jack M Cathey, Financial Accounting Theory and Analysis, Tax Reading and Cases, 7th edition, John Wiley & Sons Inc., USA : 2001
Philip Kotler, Gary Armstrong, Principles of Marketing, Prentice Hall Inc. : New Jersey, USA, 2003.
Roy Rohatgi, Basic International Taxation Volume 1: Principles, London : BNA International Inc, 2005.
R Mansury, Memahami Ketentuan Perpajakan Berdasarkan Tax Treaties Indonesia, Ind-Hill Co : Jakarta, 1996.

Karya Ilmiah (Tesis) :
Rahayu, Ning, Pajak Penghasilan (PPh) atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik : Dalam Ketentuan Domestik maupun Perjanjian Internasional, Tesis Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, Hal. 44-54

Internet :

http://www.ortax.org
http://www.pajak2000.com
http://www.legal-explanations.com
http://www.majalahtrust.com
http://www.majalahfranchise.com